PAKKAT NAULI

Minggu, 22 Juni 2008

PAKKAT 2050

Malam ini begitu sejuk dan sepi. Angin berhembus mendayu-dayu dengan sangat lembut. Lampu jalan di sirpang opat tetap nyala saling bergantian, merah kuning dan hijau. Sudah dari sejam yang lalu tidak ada satu pun kendaraan yang lewat. Hanya Amani Kale yang lewat menjajakan lomangnya. Lomang yang begitu enak, keahlian membuat lomang yang diwariskan turun temurun. Nama Kale yang disandang Amani Kale ini juga merupakan sebuah gelar yang telah mereka sandang turun temurun. Mulai dari si Kale Parlomang, yang sudah 3 generasi diatasnya dan sekarang dia juga digelari orang Amani Kale. Mengolah dan menjual lomang secara tradisonal juga menjadi sebuah “poda” (amanah) yang harus diemban secara turun temurun dikeluarga mereka, tidak semua keturunan diperbolehkan mewarisi pekerjaan ini. Hanya satu orang dari keluarga dan kemudian diwariskan kelak kepada kegenerasi berikutnya. Semua orang di Kota ini bahkan ke kota-kota lain sudah tahu hal-ikhwal pewarisan penjual lomang Amani Kale tersebut. Mereka adalah sebuah keluarga kaya dan terhormat di kampung ini, tetapi “poda” harus dijalankan dan haruslah orang yang terpilih yang menjadi penjual lomang dari keluarga. Amani Kale terpilih dari sekian ratus orang keluarga mereka menjadi penjual lomang tradisional di Pakkat. Namun walaupun begitu Amani Kale adalah orang tabah dan setia dalam mengemban tugas, gelar doktor dari UGM yang digelarnya tiga tahun lalu terasa masih kurang cukup dalam mengemban tugasnya sebagai parlomang. Dia begitu tabah dan serius dalam menjalankan bisnis keluarga ini. Menjual lomang sudah dilakoninya selama tiga tahun, bekerja sendirian tanpa anak buah dan keranjang lomang mesti dipikul untuk dijajakan berkeliling. Sebagai si Kale parlomang dia juga mesti memakai uniform mandar (sarung) lusuh yang telah dipakai seratus tahun. Selama menjual lomang, dia juga harus bertelanjang kaki, tidak memakai alas kaki. Itulah “poda” yang mesti mereka jalankan sebagai keturunan parlomang mulai dari 100 tahun lalu dari kampong kecil Temba.
Walaupun sudah tengah malam Amani Kale masih menjajakan lomangnya, dia tersenyum ketika melewati sirpang opat Kota ini, setiap malam pada jam 01.00 dia selalu melihat sepasang muda-mudi berbaring ditengah jalan menghadap ke sebuah patung megah dijantung kota ini. Amani Kale mendekati mereka dan menawarkan lomang dengan dialek temba yang sudah melegenda itu, tidak lupa juga Amani Kale menyisipkan kata-kata kale di setiap kalimatnya. Kepiawaian dalam ‘direct sell’ yang mereka warisi turun temurun dalam menjual lomang dapat dipastikan bahwa orang-orang akan membeli lomangnya. Kedua muda-mudi itu dengan senyum menerima tawaran dari Amani Kale.
“Terima kasih Uda” kata Maryln sambil menyantap lomang dengan resep yang telah dipertahankan ratusan tahun tersebut. Maryln sempat berpikir, pasti nenek moyangku dulu juga merasakan nikmatnya lomang ini hmmmmmm. Togar yang sedari tadi termenung menatap patung di depannya tergerak untuk merespon Amani Kale.
“Horas Tulang, belum pulang Tulang, sudah jam satu ini Tulang”. Sambil menyantap lomang, Togar sedikit berbasa-basi, dalam hatinya ia berpikir, kok bisa ya doktor dengan peringkat cumlaude dari UGM kerjanya berjualan lomang. Busyet dah.
“Horas ma kale, bentar lagi juga saya pulang, tadi nattulangmu telepon dari rumah minta saya cepat pulang untuk beres-beres, besok kita mau ke Yogya, laeku mau dilantik jadi Sri Sultan Hamengkubuwono XIII. Mungkin kami selama seminggu di Yogya” Togar dan Maryln termangu, berarti mereka tidak akan menikmati lomang Amani Kale selama seminggu nanti.
“Wah Tulang, kita puasa makan lomang dong” kata Togar seraya menarik sebuah koran harian “Selamat Pagi Pakkat” yang dijadikan alas duduknya.
Sembari melirik headline koran yang dipegang Togar, Amani Kale membereskan keranjang lomangnya “Masih demo ya, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa sementara Tulang ada di Yogya”. Togar menunjukkan korannya ke Amani Kale, pada halaman depan terpampang sebuah foto aktivis mahasiswa bernama Manuver Presto Hamonangan, mahasiswa semester dua di PAKKAT UNIVERSITY SINAMO LEDING.
“Salam buat Presto, tadi saya ketemu dia di Siuor-uor, dia sedang diwawancari Lae Meddi Simanullang, pemred baru yang datang dari Jakarta, cucu yang punya Koran” Kata Amani Kale sambil beres-beres dan memanggul keranjang lomang pulang ke rumahnya di SIMARSIK HORACE’S VILLA . Memang akhir-akhir ini sering terjadi demonstrasi di kampus PAKKAT UNIVERSITY SINAMO LEDING. Ada-ada saja tuntutan mahasiswa ini, mulai perbaikan perekonomian di Indonesialah, hubungan luar negerilah, masalah TKI-lah dan masih banyak agenda demonstrasi yang lain yang berganti-ganti setiap minggunya.
Asrama mahasiswa di Sinamo Leding menjadi basecamp para demonstran, sedangkan massanya lebih banyak dari Mahasiswa kampus yang melebihi 10.000 orang. Kampus PAKKAT UNIVERSITY SINAMO LEDING sendiri memiliki mahasiswa 100.000 lebih. Kampus yang tidak terlalu jauh dari asrama memudahkan mereka demonstrasi hampir setiap hari minggu-minggu ini. Sebagian besar masyarakat Pakkat hanya menanggapi demo-demo ini dengan tersenyum. Perekonomian di daerah Pakkat sendiri sudah cukup baik bahkan berkecukupun. Mahasiswa yang demo itu hampir semuanya adalah anak-anak kost dari luar Pakkat kecuali pimpinannya Manuver Presto Hamonangan. Semua orang tahu bahwa dia adalah cucu dari Patung yang ada di sirpang opat ini. Darah aktivis mengalir di tubuhnya.
“Hmmmm Mary, dari dulu saya selalu mengamati patung ini, orangnya pasti sombong”. Kata Togar selepas kepergian Amani Kale.
“Ehh….. enak aja, kata oppungku orangnya baik, ganteng tapi memang agak pendek” Kata Merylin membela si Patung.
“Berarti ga beda jauh dari si Presto he he he” Togar tertawa ngekeh sambil melirik Mary. Ada kabar burung yang didengar Togar kalau beberapa kali terakhir, Mary sering ikut-ikutan rapat-rapat Mahasiswa di Pakkat University. Biarpun Presto adalah adik kelas Mary, bahkan sebenarnya dari jumlah semester Presto masih anak bawang, tetapi Presto sudah begitu terkenal di kampus dan handal dalam berorasi dan juga mengangumkan dalam memimpin rapat-rapat mahasiswa. Melihat penampilan Presto, Mary sering terpesona.
“Heh … Mary, Presto itu ga seperti yang kau bayangkan. Aku dengar dari itoku, dia itu sering telpon-telponan dengan Oppungnya di Jakarta. Paling juga dia cuman mau seperti Oppungnya hik hik hik.” Togar jelas tidak mau membiarkan Mary jatuh hati ke Presto.
Malam semakin larut, kedua muda-mudi itu masih tidur-tiduran telentang di tengah jalan sirpang opat dijantung Kota Pakkat, beralaskan Koran dengan foto sang aktivis. Patung megah setinggi 20 meter berdiri tegak persis dihadapan mereka. Patung yang dipahat oleh seniman terkenal dunia ini sudah ada di jantung kota ini sejak tahun 2037. Dibawah patung tertulis nama pemahatnya, P. Simangunsong.
“Bang, kamu tahu ga, kalau dulu Tugu Salak yang dipegang patung ini dulunya tertancap di tanah sewaktu patungnya belum ada. Ini sih cerita Oppungku, dan kemarin aku coba cari informasi di website FIP untuk memastikan kata Oppungku ini ”
“Hah, nancap di tanah? Bukannya dari dulu patung ini memegang Tugu Salak?”
“Bang, dulu sebelum ada patung ini, yang ada hanya tugu salak persis ditempat ini. Pada zaman tugu salak ini, Pakkat adalah kota miskin. Penduduknya harus bekerja siang malam untuk mencari nafkah. Tidak seperti sekarang, kerja hanya 4 jam sehari sudah bisa tidur enak. Kalau dulu, sekolah aja yang ada cuman sedikit. Sekolah RK yang di Pargodungan, SD dan SMP yang di Simarsik, dan SMEA yang di Panigoran. Udah itu aja. Paling di desa-desa ada SD-SD doang. Itu pun sangat menyedihkan dengan mutu pendidikan yang sangat rendah. Dulu belum ada kampus bang”.
“Hah, yang benar aja Mary”.
“Benar, ini ya, aku juga lihat di Web FIP, ada foto-foto jalan raya dari Doloksanggul ke Pakkat, busyet dah, itu mah kayak kubangan kerbau. Jalan hanya bisa dipakai setengah meter. Banyak bus-bus yang menggelinding kayak bola ke jurang, idihhhhh mengerikan”. Maryln berhenti sejenak. Togar termangu sambil menatap wajah Mary yang bercerita dengan sepenuh hati.
Togar memang anak baru di kota ini. Oppung borunya dulu merantau dari Pakkat ke Batam dan mereka tinggal di Batam. Setelah tamat SMA Togar kuliah di Yale University di New Haven, sebuah kota di Negara bagian Connencticut (sekitar 120 km disebelah timur laut kota New York). Setelah lulus pemuda tampan ini pindah ke Pakkat atas upaya Oppungnya yang ada di Batam. Oppungnya menceritakan kepada Togar kalau daerah Pakkat ini adalah daerah yang paling indah di dunia. Daerah Pakkat sekarang adalah daerah hasil perjuangan mereka para perantau dan bahu-membahu dengan masyarakat yang ada di Pakkat puluhan tahun yang lalu. Mereka disatukan atas keprihatinan yang sama, khususnya karena buruknya jalan raya Doloksanggul – Pakkat yang sangat tidak manusiawi. Dulu bersama-sama dengan rekan-rekan sesama perantau mereka sering berdiskusi di milis pakkat untuk membangun kota Pakkat. Milis inilah yang menjadi cikal-bakal FIP yang kantornya sangat besar di pusat kota ini. Namun sayang Oppung Togar lebih sering menceritakan keindahan kota Pakkat sekarang ini daripada zaman sigudamdam dulu.
“Hei, malah melamun abang ini, kamu tahu ga, di zaman tugu salak ini, semuanya memprihatinkan. Misalnya bang, kalau dulu orang main bola saja seperti main bola di bukit-bukit he he he bukan di lapangan sepak bola. Lapangan sepak bola sih ada, tapi ga rata, dulu ada di Pulobali. Ha ha ha, Oppungku pernah bercerita kalau sudah tujuhbelasan, ramai sekali katanya. Tapi setiap ada yang menendang bola dengan kencang, semua orang terdiam dan melihat arah bolanya kemana. Nah kalau arah bolanya ke kebun salak maka bolanya harus diganti karena pasti kempes kena duri salak he he he”
“He he he iya juga ya” Togar juga ikut tertawa membayangkan lapangan yang becek kalau hujan, kering kalau panas, dan lapangan yang dikelilingi kebun salak. Exsotics… man!!! Habis main bola nyuri salak. Atau pura-pura ngambil bola, taunya sudah mangaltup salak he he he
Angin bertiup mulai tambah dingin, lampu merah kunig hijau masih tetap saja menjalankan tugasnya dengan baik walaupun tak satupun kendaraan bahkan manusia yang masih kelihatan kecuali mereka berdua. Di langit bintang-bintang gemerlap memperhatikan kedua muda mudi ini yang tidak mengenal waktu siang maupun malam. Tetapi tiba-tiba terdengar raungan sepeda motor, grongggg gunggg tiiiiiit tuiiiiiiitt….. tiba-tiba sebuah motor melaju kencang dari arah Tukka. Togar segera berdiri dan menarik tangan Maryln untuk menyingkir ke pinggir jalan.
“Hoiiii bule, tidurrrrrrrrrr…..” Teriak pengendara motor sambil berlalu kencang.
“Sialan” Umpat Togar sambil melotot mencoba mengenali siapa pengendara motor ugal-ugalan tersebut.
“Sudahlah bang, paling anak-anak mahasiswa yang baru pulang dari café tukka-ausy”. Maryln berusaha melunakkan hati Togar. Memang akhir-akhir ini mulai banyak merebak kafe kafe di Tukka. Beberapa tahun yang lalu hanya ada 5 buah kafe yang buka sampai jam 12 malam. Tapi sekarang ada kafe yang buka sampai jam 3 pagi. Katanya yang punya orang kuat dari Australia.
“Huh, ntar aku bilangin sama Presto, biar dihajar dia” kata Togar tersenyum dan melirik kearah Mary. Mary hanya sumrigah dan selintas terbayang wajah keren Presto.
“ Oh ya, besok pagi jogging jam berapa?”
“Biasalah jam 5 bos, pulang yok”
Togar dan Maryln pelan-pelan berjalan menyelusuri trotoar dibawah lampu jalan yang gemerlap sambil bergandengan tangan. Togar pemuda Batam lulusan New York yang tampan seolah-olah tidak mau melepaskan tangan Mary yang halus dan lembut. Wanita cantik yang digandengnya ini dikenalkan oleh Oppungnya yang ada di Batam. Togar sangatlah menyayangi Oppungnya apalagi Oppungnya mempertemukan dia dengan cucu temannya yakni Mary. Oppung Togar dan Oppung Mary adalah teman yang bertemu di milis pakkat yang selalu diceritakan setiap hari oleh Oppung Togar dan demikian juga Oppung Mary.
Limabelas menit kemudian mereka sampai ke rumah Mary di dekat Mesjid Raya Pakkat, Pak Satpam yang ada di pos satpam cuman mengangguk-angguk tersenyum ke mereka sambil tetap ngopi dan makan salak asinan hasil pabrik asinan salak yang ada di Batugaja tempat Togar bekerja. Pabrik Asinan Salak ini sudah berdiri 25 tahun yang lalu, dan sudah mengekspor asinan salak sampai ke Rusia. Disinilah Togar bekerja, PT Salak Manalu Mantap sebagai Manager Marketing.
Dengan sedikit kecupan di dahi, Togar mengucapkan selamat malam dan membisikan di telinga Mary supaya besok pagi jangan terlambat bangun. Sambil tersenyum Mary membisikkan sesuatu ke telinga Togar “jangan lupa ngambil motormu di depan gallery ya”
Togar tersenyum dan melangkah gontai ke gallery yang ada di depan rumah Mary. Toko Gallery yang sangat besar dan megah. Sehabis kuliah, Mary menghabiskan waktunya di gallery bersama 57 orang karyawannya. JERMAN –INDONESIAN PAINTING GALLERY memang sangat diminati oleh warga Pakkat. Gallery milik Mary memamerkan dan menjual benda-benda kuno dari Jerman. Di pintu masuk gallery berdiri megah sebuah patung mantan Kanselir Jerman Angela Merkel, dan dipojok kiri ada sebuah patung kusam Adolf Hitler.
Motor Togar masih bertengger di depan gallery. Dengan gagah Togar mengendari motornya melaju ke rumahnya di Batugaja.
Setelah beres-beres, Mary pun merebahkan badannya di kasur empuk di kamar tidurnya. AC dikamarnya hanya dinyalakan pada siang hari, sebab pada malam hari udara sudah sangat sejuk. Sebelum tidur, Mary berdoa semoga besok mereka mendapatkan Rektor baru yang lebih baik dan tidak mempersulit posisi sang demonstran. Terdengar kabar, ketua Yayasan PAKKAT UNIVERSITY SINAMO LEDING akan menangani langsung kampus yang sering dijadikan tempat demo para demonstran. Rektor baru yang sudah sangat tua ini adalah mantan Dirjend BIMAS Departemen Agama di Jakarta. Atas desakan FIP sebagai yayasan pemilik kampus, mantan Dirjend inipun didaulat menjadi Rektor PAKKAT UNIVERSITY SINAMO LEDING.

Bersambung…………………..

Jumat, 25 Januari 2008

Tugu Sumerham Pakkat

Pakkat Huta Hatubuan

Perebutan Tahta Gubernur Sumut 2008

Sayang PDIP tidak mencalonkan Cornel. Dengan mencalonkan Tritamtomo saya kira pertarungan akan menjadi semakin seru dan PDIPlah yang membuatnya menarik sekaligus menurut saya PDIP juga kehilangan beberapa peluang cantik. Ada lima pasangan calon yang mendaftar kemarin/tadi malam yakni: pasangan calon Tritamtomo-Benny Pasaribu (PDIP), Ali Umri-Maratua Simanjuntak (Partai Golkar), RE Siahaan-Suherdi (8 Parpol), Abdul Wahab Dalimunte-HM Raden Syafei (Partai Demokrat, PBR, dan PAN) dan Syamsul Arifin-Gatot Pujonugroho (12 parpol).

Menilik dari komposisi agama dan suku, suara dari kelompok kristen (Batak) akan menjadi penentu. Jelas kelompok Islam (Jawa dan non Jawa) akan terpecah-belah. Sebagian Jawa agamais dan Batak clan Simanjuntak akan memilih Golkar karena ada Maratua Simanjuntak yang adalah ketua FKUB dan Wakil Ketua MUI. Jawa yang abangan akan memilih pasangan Abdul Wahab-Raden Syafei (Raden ini adalah tokoh muda Jawa yg lagi ngetop di Medan) dan Abdul Wahad yang adalah Ketua DPRD Sumut juga cukup dikenal.
Sebagian Jawa abangan ini jg akan lari ke Pasangan RE Siahaan-Suherdi karena Suherdi adalah Ketua Pujakusuma.

Nah, sekrang kemanakah suara Kristen yang akan menjadi penentu itu? Suara Kristen semestinya walaupun tidak harus, terbagi dalam dua bagian. Protestan dan Katolik. Suara Protestan akan pecah-pecah juga karena apakah akan ke Benny Pasaribu atau RE Siahaan. Suara Katolik yang kurang dari 1 jt itu akan lebih cenderung memilih yang nasionalis dan sesuai dengan instruksi dari atas (para Pastor). Berhubung karena Cornel tidak masuk (Cornel adalah Eks Seminari P. Siantar) maka saya melihat konstelasi di Tokoh-tokoh Katolik sedikit kelimpungan. Juga tidak gampang untuk memilih karena Benny Pasaribu dan RE Siahaan (Walikota P. Siantar) adalah 2 orang yang serupa tapi tidak sama. RE Siahaan yang merupakan Ketua DPD Partai Demokrat Sumut sayang tidak diusung oleh Demokrat. Demokrat justru mencalonkan Abdul Wahab. Saya melihat bahwa akan ada kecenderungan Katolik akan cari aman ke PDIP dengan pertimbangan Beny Pasaribu adalah Nasionalis dan Tritamtomo adalah Tentara.

Jadi boha nama si Rudolf on?
Prediksi saya bahwa Rudolf tidak akan menandatangani surat pencalonan PDIP yang tidak mencalonkan dirinya ternyata benar, untuk sementara DPP PDIP menunjuk Panda Nababan sebagai penggantinya hanya untuk sementara pencalonan ini saja. Sempat terjadi keributan ketika utusan dari DPP PDIP dan Calon memasuki ruangan KPUD.

Pakkat pasti akan ramai???
Beberapa daerah basis Kristen akan menjadi ajang perebutan suara. Basis-basis Kristen ini tentu saja tersebar di pelosok-pelosok dan antara lain adalah Pakkat. Medan tidak akan menjadi seksi karena banyaknya calon yang beragama Islam. Calon-calon hanya akan mengharapkan suara tambahan dari Kota Medan. Sedikit beruntung calon-calon yang sedang menjabat sebagai walikota atau Bupati seperti Ali Umri dan RE Siahaan. Mereka akan lebih dikenal didaerahnya sendiri daripada calon lain. Basis-basis Kristen ini akan menjadi ajang perebutan suara, dipastikan akan banyak sekali spanduk dan selebaran yang akan dibagi-bagikan di Kota Pakkat, juga tidak lupa hepeng si 35 ribu i.

Horas,

swandy

Selasa, 06 November 2007

LEBARAN, KETUPAT DAN OPOR AYAM

Seminggu menjelang Lebaran kesibukan sangat terasa di rumah saya, Istri begitu sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk mudik Lebaran ke kampung mertua. Si kecil Callista yang masih berumur 11 bulan akan menjenguk rumah Mbahnya di Jawa untuk pertama kalinya. Tentu saja banyak hal yang mesti disiapkan terutama bagian perlengkapan si Kecil, karena rencana akan 1 minggu di rumah yang masih asing baginya. Saya juga setuju saja, walaupun harus mengeluarkan banyak uang dan tidak berani mengambil resiko kejadian-kejadian yang tidak diinginkan bisa terjadi waktu liburan.

Tanggal 11 Oktober, dipagi hari kami bertiga pun berangkat menuju bandara Soekarno Hatta dan pukul 8 pesawat berangkat menuju Solo. Tepat jam 9, pesawat mendarat di Solo dan kemudian dengan Taksi menuju Sragen (Gondang). Di Gondang kami pun harus belanja lagi karena beberapa perlengkapan harus dibeli . Kemudian dari Gondang menuju rumah harus sewa mobil walaupun tidak begitu mahal mengingat barang-barang yang kami bawa cukup banyak.

Sampai di rumah mertua, suasana sejuk mulai terasa. Kepenatan di Jakarta yang serba macet dan sibuk tidak terasa disini. Di kampung ini orang-orang kelihatan santai walaupun terasa sedikit sibuk karena mempersiapkan masakan-masakan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Keluarga Istri saya adalah Muslim tetapi Muslim Jawa yang seperti pada umumnya tidak terlalu fanatik, bahkan cenderung tidak paham dengan Islam (jadi ingat acara Tukul ketika di tanya bisa sholat apa ga? jawabannya Tukul adalah kalau anaka-anaknya semuanya adalah Muslin sejati). Mertua saya sendiri tidak pernah dan tidak mengerti sholat. Tetapi yang aneh, setiap lebaran mertua saya selalu sibuk menyiapkan banyak makanan dari berbagai jenis terutama ketupat dan opor ayam. Dalam hati saya, saya bertanya-tanya ada apa gerangan?

Pada keesokan harinya di malam hari, saya dan istri sedang ke dapur untuk mengambil air minum. Si kecil Callista sudah terlelap tidur dengan segala mimpinya yang sering membuat dia tersenyum sendiri. Kadang saya bertanya-tanya, si Kecil kira-kira sedang mimpi apa ya?
Ketika hendak kembali dari dapur, saya melihat 2 gelas kopi yang masih penuh ada di meja. Kemudian saya bertanya ke sang Istri, ini kopi siapa ya? sayang sekali tidak diminum? Dalam hati terbersit niat sedikit untuk mau minum karena kopi tersebut masih penuh. Istri menjawab dengan sedikit tersenyum, bahwa kopi dan makanan yang banyak beragam itu (saya tadinya tidak melihat makanan banyak karena ditutupi dengan keranjang penutup makanan) merupakan sesajen untuk para leluhur dan keluarga yang telah meninggal mendahului kita. Wah ..... mendengar penjelasan Istri agak berdiri bulu kudukku karena sama sekali tidak membayangkan sebelumnya. Cepat-cepat saya keluar dari dapur menuju kamar tidur. Dalam hati saya berpikir, mereka ini Islam atau Penganut Kepercayaan ya?

Selama seminggu di kampung mertua terasa pikiran agak tenang, tidak diganggu oleh pekerjaan-pekerjaan kantor dan kesibukan-kesibukan yang lain. Hanya sesekali melihat email di HP apakah ada berita-berita penting atau apakah ada email yang masuk ke milis Pakkat? ( Oh ya selama liburan tersebut tak satu pun email yang masuk ke milis pakkat, he he he mungkin semua masih pada asyik liburan).

Dulu sebelum menikah, ada hobi saya satu hal yang menarik apabila pulang kampung ke rumah mertua ini. Tentu saja sewaktu sebelum menikah, yakni pergi mandi ke kali (ada sungai kecil). Kampung yang masih asri ini ternyata memiliki kebiasaan unik, yakni mandi di kali. Saya juga tentu saja mengikuti kebiasaan yang hampir dilakukan semua penduduk disana. Mereka lebih senang mandi dan nyuci di kali daripada mengerjakan itu di rumah, padahal hampir semua rumah memiliki sumur air karena memang air tidak begitu sulit. Mandi di kali untuk pertama kalinya di kampung mertua membuat saya kaget, kenapa tidak ternyata orang-orang mandi bersama-sama dengan apa adanya. Bahkan sangat terkesan tidak berkehendak menutupi bagian-bagian tubuhnya walaupun dengan alam yang begitu terbuka. Ketika istri saya mau mandi saya langsung wanti-wanti supaya tidak mengikuti mandi seperti itu. Untung sang istri nurut dan mandi dengan berpakaian. Pada waktu itu saya juga jadinya sangat sering mandi di kali.......

Pada liburan kali ini karena ada si kecil, kami semuanya beraktivitas di rumah. Mandi, nyuci semuanya dilakukan di rumah. Si kecil juga sangat senang melihat kambing dan ayam peliharaan Mbahnya. Si Kecil sudah tahu mana kambing mana ayam dan satu lagi teman mainnya yakni Sunti, kucing kecil peliharaan si Mbahnya. Tetapi ketika kakak-kakak dari istri datang dan menginap juga disitu, akhirnya ramai-ramai juga pergi ke kali dan mandi di kali, wah ternyata kebiasaan yang dulu yang pernah aku lihat masih sama sampai sekarang, orang-orang pada mandi dan bercengkerama di kali ......

Selama 6 hari di kampung mertua akhirnya kami pun pulang ke Jakarta dengan tidak lupa saling bermaaf-maafan dengan orang tua maupun tetangga-tetangga di sekitar. Mereka mengerti kalau saya berbeda agama dengan mereka tetapi saya disambut baik dan diperlakukan dengan baik sebagaimana juga orang-orang lain.

Sesampai di jakarta masih ada libur 6 hari lagi dan hari kerja masih lama.............


Swandy Sihotang

Selasa, 23 Oktober 2007

TEARS OF THE SUN

Tears of the sun, film perang yang disutradarai oleh Antoine Fuqua dalam misi marinir US (Bruce Willis) untuk menyelamatkan seorang dokter warga negara US (diperankan oleh Monica Belluci) di perang sipil Nigeria. US Navy Seals akhirnya terjebak dalam perang tersebut karena prihatin dengan pembunuhan masal etnis yang dilakukan oleh para pemberontak. Marinir US akhirnya berhasil menyelamatkan sang dokter dan para pengungsi yang ternyata diantara pengungsi tersebut ada putra presiden negeria, satu-satunya putra presiden yang masih selamat hidup. Para pemain: Bruce Willis, Monica Bellucci, Cole Hauser, Earmonn Walkel, Johnny Messner dan Nick Chinlund.

Swandy Sihotang

Tapanuli, dari "Huta" hingga Karesidenan

Kompas, Senin, 6 Mei 2002



Tapanuli, dari "Huta" hingga Karesidenan

Orin Basuki
DALAM khasanah sehari-hari, Tapanuli identik dengan Tanah Batak. Dengan demikian, Tapanuli adalah tempat menetapnya satu etnis tertentu yang saat ini dinamakan Suku Batak, suku yang menempati empat besar di antara empat suku yang paling banyak menghuni Pulau Sumatera.Berbicara tentang tempat menetapnya orang Batak, terdapat mitos yang mengatakan kediaman orang Batak pada awalnya di kaki Pusuk Buhit (puncak bukit = bahasa Batak) Sianjur di bagian barat Danau Toba.
Lance Castle mengungkapkan dalam bukunya "Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli", tidak ada bukti yang bisa membantah bahwa orang Batak pertama itu turun dari langit ke Gunung Pusuk Buhit di sebelah barat pantai Danau Toba seperti mitos tadi.
Sementara hasil sebuah penelitian genealogi (asal-usul) menunjukkan, secara konsisten terjadi migrasi orang Batak yang berawal dari sekitar Danau Toba. Perpindahan itu, terutama terjadi ketika Sumatera Timur semakin berkembang dengan pembukaan perkebunan. Orang Batak kemudian berpindah ke wilayah itu dalam jumlah banyak.
M Hutauruk dalam bukunya "Sejarah Ringkas Tapanuli" mengungkapkan, orang Batak mempunyai semangat berpindah untuk menemukan tempat yang lebih baik dan nyaman untuk didiami. Dengan adanya semangat itu, orang Batak selalu berpindah, tapi tanpa menghilangkan identitas kesukuannya yang kuat.
Lance Castle dalam penelitiannya membagi kelompok orang Batak ini menjadi li-ma subkelompok berdasarkan tempat kediamannya. Sebagian besar orang Batak yakni Batak Toba mendiami wilayah selatan dan barat daya Danau Toba, termasuk Pulau Samosir. Belanda kemudian menyebut wilayah ini sebagai Pusat Tanah Batak (Centraal Batakland), yang kini menjadi Kabupaten Tapanuli Utara. Pihak lain menyebutnya sebagai daerah Batak tulen.
Dalam jumlah lebih kecil di barat laut Danau Toba terdapat Batak Dairi, sementara di dekatnya terdapat Batak Karo di utara Danau Toba. Di antara lereng gunung antara Danau Toba dan Selat Malaka terdapat Batak Simalungun. Kelompok terakhir berada di selatan Danau Toba tepatnya di daerah Angkola, Mandailing, dan Padanglawas berdiam Batak Tapanuli Selatan yang mempunyai dua subkelompok yakni Angkola dan Mandailing.
***
SEBELUM masa kolonial Belanda, masyarakat Batak hampir tidak mengenal negara. Penduduknya tinggal di kampung-kampung yang disebut huta yang dikelilingi oleh tembok tanah dan pagar bambu sebagai perlindungan. Kebanyakan dari huta ini berukuran kecil. Sebagai contoh di Samosir, pada tahun 1912, huta rata-rata berpenduduk 35 orang dengan 16 rumah.
Huta tersebut dipimpin oleh Raja ni Huta yang menjadi pendiri huta atau keturunannya. Mereka menganggap dirinya berkuasa dan tidak bertanggung jawab terhadap otoritas yang lebih tinggi. Namun, sebenarnya mereka masih terikat oleh adat, religi, teritorial dan keturunan yang mengatur hubungan antarhuta yang disebut marga atau klan. Lebih dari itu, mereka juga dikelompokkan dalam kelompok besar marga atau Moitie yakni Sumba dan Lontung.
M Hutauruk mengungkapkan, hingga masa kolonial, orang Batak hidup terisolir dalam huta. Permasalahan kemudian timbul ketika pecah perang saudara karena tidak adanya kerukunan antarmarga. Yang menjadi rebutan utama biasanya adalah tanah pertanian.
Usaha pemersatuan dilakukan oleh Tuan Singa Mangaraja dari dinasti Singamangaraja. Singamangaraja ini menurut mitos lahir dari kegaiban inkarnasi Batara Guru.
Dengan bahasa lain, Heine-Geldern yang dikutip Lance Castle mengatakan, dinasti Singamangaraja adalah tiruan jenis raja-dewa (god-king), tipe penguasa yang banyak ditemukan di Asia Tenggara saat itu. Singamangaraja yang dikenal sebagai pahlawan nasional saat ini bernama Ompu Pulobatu, Singamangaraja XII.
Singamangaraja dikenal sebagai raja-dewa dalam kelompok besar marga atau Moitie Sumba, di dalamnya dikenal salah satu marganya adalah marga Sinambela, marga dari dinasti Singamangaraja. Sedangkan, pada Moitie Lontung, raja-dewa yang mereka kenal bernama Paltiraja dan tinggal di Daerah Urat, Pulau Samosir.
Terpecah-pecahnya masyarakat Batak dalam huta tersebut berlangsung sejak abad ke-14. Baru pada abad ke-19, persatuan itu muncul ketika datang kekuatan lain di luar kekuatan adat, marga, dan huta yakni kekuatan penyebaran agama Islam dan Kristen serta munculnya penjajahan Belanda.
***
PENYEBARAN Islam di Tapanuli tidak terlepas dari berkembangnya gerakan Padri (sebuah gerakan Islam) di Sumatera Barat atau daerah Minangkabau. Gerakan Padri ini berawal dari dataran tinggi Minangkabau pada 1803 dimotori oleh tiga orang haji yang baru pulang dari Mekah, yang salah satunya bernama Syarif atau dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol.
Seorang pemimpin regional Padri bernama Tuanku Rao kemudian menyerang daerah Mandailing dan berusaha menguasai daerah utara Tapanuli namun gagal. Bersamaan dengan penaklukan inilah, Islam mulai disebarkan hingga mayoritas penduduk Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah menganut agama Islam, sementara Tapanuli Utara tidak diislamkan.
Gerakan Padri berubah menjadi perang kolonial pada 1821 ketika Belanda mengintervensi konflik antara Kaum Padri yang ingin menerapkan ajaran Islam murni dengan Kaum Adat Minangkabau yang menolak keinginan Kaum Padri. Bersamaan dengan intervensi itu, Belanda mulai menancapkan kekuasaannya di Tapanuli.
Setelah Perang Padri usai pada 1937, Pemerintah Belanda cenderung membiarkan penyebaran agama Islam di Tapanuli Selatan terus berkembang. Hal itu karena sulit bagi Belanda menyebarkan agama Kristen. Usaha penyebaran Kristen di Tapanuli Selatan hanya akan membahayakan strategi Belanda untuk mendapatkan dukungan golongan hitam (Muslim non-Padri atau Kaum Adat) di Minangkabau.
Namun, Lance Castle melihat kebijakan Belanda itu sebagai penyekatan dua benteng Islam yakni Aceh dan Minangkabau dengan membiarkan kristenisasi dilakukan dan berhasil di Tapanuli Utara. Tujuan Belanda ini sebenarnya tercapai dengan membiarkan agama asli orang Batak tetap berkembang di Tapanuli Utara. Dalam praktiknya, hanya Tanah Batak di Tapanuli Utara saja yang beragama Kristen, sehingga mencegah penyusupan Islam antara Aceh dan Minangkabau.
Lance mengatakan, Minangkabau menganut agama Islam sejak sekitar abad ke-16. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat Tapanuli Selatan mempunyai perasaan yang lebih kuat sebagai satu kesatuan dengan Minangkabau dibanding dengan Batak, meskipun secara politik antara Tapanuli Selatan dan Minangkabau sangat terdesentralisasi.
Dalam keadaan yang relatif aman setelah Perang Padri, pada 1838, Belanda membentuk Karesidenan Air Bangis di Tapanuli. Baru pada 1842, diubah menjadi Karesidenan Tapanuli dengan ibu kota Sibolga, sementara Gubernurnya berpusat di Padang.
Setelah bergabung dengan Republik Indonesia, pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Karesidenan Tapanuli dimasukkan sebagai bagian Provinsi Sumatera yang wilayahnya mulai ujung utara Aceh hingga ujung selatan Lampung. Gubernur Provinsi Sumatera saat itu, Mr AS Nasution.
Kemudian, Provinsi Sumatera dilebur menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Tapanuli masuk sebagai bagian Provinsi Sumatera Utara bersama Aceh dan Sumatera Timur pada tahun 1950. Enam tahun kemudian, Aceh memutuskan berpisah dan membentuk provinsi sendiri, sementara hingga sekarang Tapanuli dan Sumatera Timur masih menjadi Karesidenan yang tergabung sebagai Provinsi Sumatera Utara.
***
LANCE Castle sempat mencatat bagaimana sulitnya menyatukan antara Tapanuli Selatan yang didominasi orang Angkola dan Mandailing dengan Tapanuli Utara yang menjadi tempat bermukim Batak Toba. Salah satu bukti adalah ketika Belanda bermaksud membentuk Batakraad atau Dewan Batak.
Tujuan Belanda membentuk Dewan Batak ini tidak lain adalah untuk memudahkan pengelolaan administrasi pemerintahan sekaligus menumbuhkan semangat sukuisme dalam hal ini suku Batak dan membunuh semangat Nasionalisme keindonesiaan.
Gagasan Dewan Batak ini mendapat kecaman keras dari orang Mandailing yang menolak adanya lembaga Batakraad bahkan jika namanya diganti dengan Tapanoeliraad sekalipun, mereka tetap menolak. Mereka menolak selain karena merupakan bikinan Belanda, mereka juga pada dasarnya menolak mengakui diri mereka sebagai orang Batak.
Alasan lain penolakan masyarakat Mandailing terhadap Dewan Batak itu juga didasarkan atas agama dan adat. Bahkan jika dewan itu dipaksakan dibentuk, pemimpin masyarakat terang-terangan menyatakan akan memilih bergabung dengan Sumatera Barat.
Untuk menjelaskan pandangan Lance tentang kondisi masyarakat di Tapanuli, Basyral Hamidi Harahap menggambarkan pengkotakan masyarakat di Tapanuli Utara dan Selatan itu melalui hasil pemilihan umum (Pemilu) pertama di Indonesia pada 1955, atau 15 tahun setelah periode penelitian Lance Castle berakhir.
Basyral menyatakan, hasil Pemilu 1955 menggambarkan dengan gamblang bahwa Tapanuli Utara adalah negeri Kristen dan Tapanuli Selatan adalah Islam. Hal itu tampak jelas dari perolehan suara di Tapanuli Utara dimenangkan oleh partai-partai Kristen 172,456 atau 67,38 persen. Sementara di Tapanuli Selatan, partai-partai Islam memimpin perolehan dengan 132.976 suara atau 75,45 persen.
Darimana munculnya pengkotakan itu? Tentunya berasal dari nilai-nilai budaya, agama, dan orientasi masa depan orang Tapanuli yang mempengaruhi dinamika kehidupan perpolitikan masyarakat Tapanuli.
Sebagai gambaran, kata Basyral, nilai religi pada orang Angkola dan Mandailing di Tapanuli Selatan adalah nilai-nilai Islam sedangkan pada orang Toba adalah nilai-nilai Kristen ditambah nilai-nilai agama leluhur. Hal tersebut terlihat apabila orang Angkola-Mandailing masuk Islam, maka landasan utama kehidupannya adalah nilai-nilai Islam.
Dengan demikian mereka tidak keberatan melakukan sesuatu yang sangat dilarang oleh adat, namun tidak dilarang dalam ajaran Islam. Sebagai contoh adalah melakukan perkawinan semarga yang dilarang oleh adat. Oleh karena Islam tidak melarang hal itu dan memiliki nilai-nilai sendiri tentang perkawinan termasuk pasangan yang boleh dan tidak, mereka bersedia melakukan perkawinan semarga.
Sebaliknya dengan orang Batak Toba, jika memeluk agama Kristen, dia tetap mengamalkan ajaran adat istiadat Batak Toba. Kebatakannya tetap kuat dibanding dengan Kekristenannya. Dengan kata lain, orang Batak yang masuk Kristen akan tetap menjadi Batak sejati, sehingga terkadang urusan gereja menjadi tersisih karena kepentingan adat yang mendesak.
Tidak hanya itu, contoh lainnya adalah pandangan kedua Subetnis Batak itu terhadap konflik (dalam arti positif) dan hukum. Sosialisasi konflik yang berlangsung seumur hidup pada orang Batak Toba menjadikan mereka sangat peka dan terampil dalam menyelesaikan konflik. Frekuensi konflik yang tinggi pada orang Batak Toba menyebabkan mereka selalu berada dalam lingkaran konflik baik sebagai jaksa, hakim, pengacara, maupun polisi.
Sebaliknya orang Angkola-Mandailing selalu berusaha menghindari koflik, bahkan adanya konflik di kalangan sendiri dianggap sebagai aib. Itu sebabnya potensi konflik lebih rendah terjadi pada orang Angkola-Mandailing dibanding Batak Toba.
***
BASYRAL menegaskan, hanya dengan mengintensifkan frekuensi komunikasi yang lebih efektif antara Tapanuli Utara dan Selatan yang akan tetap membendung upaya mengemukakan perbedaan yang ada. Bagaimanapun perbedaan itu adalah alami, dan harus diterima, bukan dihancurkan dengan usaha untuk melakukan persamaan yang dipaksakan.
Bagaimanapun juga terdapat satu sikap yang kontras di antara Tapanuli Utara dan Selatan. Kalangan Tapanuli Utara sangat mengemukakan persamaan, mereka percaya bahwa nenek moyang semua etnis Batak adalah sama yakni berasal dari Toba, Tapanuli Utara. Pandangan ini sayangnya menimbulkan sikap superior dan arogansi orang Batak Toba.
Sementara itu, di Tapanuli Selatan, semangat perbedaan dengan utara lebih mengemuka. Cerita itu muncul ketika tidak sedikit orang Tapanuli Selatan yang menolak kisah asal muasal mereka dari Toba. Lebih jelasnya, orang Mandailing bahkan tak mau mengaku orang Batak.
Lalu, puluhan tahun setelah bubarnya Aceh dari Provinsi Sumatera Utara, keinginan untuk kembali berdiri sendiri sebagai satu wilayah administrasi yang otonom seperti dalam Karesidenan Tapanuli kembali muncul kepermukaan tahun 2000. Keinginan itu semakin menguat pada 2002 ini, berupa keinginan membentuk provinsi sendiri dengan nama Provinsi Tapanuli.
Dengan mengetengahkan kondisi sosial dan politik seperti dituturkan Lance Castle, pengamat sosial dan sejarah Sumatera Utara, Prof Dr Amudi Pasaribu berharap keinginan membentuk Provinsi Tapanuli tidak dilakukan tergesa-gesa. Tanpa memperhitungkan kondisi sosial yang kontras antara Tapanuli Utara dan Selatan, niscaya pembentukan Provinsi Tapanuli bukan keputusan yang bijaksana.
"Apa salahnya dengan Sumatera Utara yang sudah mampu mempersatukan perbedaan," kata Amudi. (m02)

MOTIF MOTIF NON REFORMIS

MOTIF-MOTIF NON-REFORMIS
KOMPAS Rabu, 26-05-1999. Halaman: 14
Tanggal dimuat: 26 Mei 1999

MELIHAT "gemuruh" massa dalam karnaval dan pawai di jalan-jalan Jakarta seminggu terakhir ini, saya tiba-tiba disergap oleh pertanyaan yang agak (maaf) berbau sinis: dari mana datangnya energi dan kekuatan yang mendorong rakyat turun ke jalan-jalan tiap hari itu? Apakah yang menggerakkan mereka itu semacam "roh" sejarah yang suci yang menuntun semua umat manusia menuju "tujuan akhir" (telos) yang membebaskan? Ataukah sebenarnya yang menggerakkan itu adalah uang dan sogokan-atau money politics dalam istilah populer sekarang?
Mengapakah massa Jakarta mau ikut konvoi dan kampanye yang sekilas tidak menghasilkan manfaat langsung secara finansial? Apakah yang sebenarnya dicari oleh mereka? Adakah mereka ikut konvoi itu hanya karena ingin menikmati suasana bebas tanpa terikat dengan peraturan lalu lintas yang memang menjengkelkan warga Jakarta itu?
Atau mungkin saya khilaf ketika mengatakan bahwa tidak ada apa yang disebut "manfaat finansial" dalam kampanye. Bukankah sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejumlah partai membagi-bagikan duit untuk menarik massa sebanyak-banyaknya, agar partainya terlihat mempunyai pendukung yang luas. Bagi masyarakat, kian banyak kampanye yang mereka ikuti, kian banyak untung yang ditangguk. Bukankah dengan nalar begitu, sebetulnya masyarakat sudah dengan cerdik memperlakukan musim kampanye sebagai kelanjutan dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS)?
Jika betul itu motifnya, berarti yang menggerakkan massa ikut kampanye adalah soal yang sangat sepele tetapi juga tidak sepele: yaitu uang. Tetapi apakah betul itu saja? Apakah tidak ada sesuatu yang sifatnya lebih "luhur", misalnya ideologi, agama atau identitas tertentu? Baiklah, pertanyaan itu kita gantungkan saja tanpa jawaban untuk sementara.
Pertanyaan berikutnya adalah: apa sebetulnya energi dan kekuatan yang mendorong orang-orang untuk mendirikan partai yang begitu banyak sekarang ini?
Di awal era reformasi, saya pernah berusaha "lugu" dan berbaik sangka kepada semua orang yang mendirikan partai-partai baru. Bahwa, ini adalah masa buat semua orang untuk mengekspresikan pendapatnya; bahwa tak ada larangan buat siapa saja untuk mendirikan perkumpulan atau partai atas dasar keyakinannya sendiri. Ketika itu, saya mempunyai keyakinan yang "lugu" bahwa semua partai yang lahir setelah era reformasi adalah cerminan dari kehendak publik untuk merealisasikan cita-cita sosial-politik yang selama 32 tahun Orde Baru terhambat.
Namun, setelah menyaksikan minggu pertama kampanye, dan mendengarkan serta melihat langsung bagaimana tokoh-tokoh partai itu menjelaskan agenda-agenda politiknya, saya mulai mencurigai "keluguan" saya. Bahwa, ternyata banyak "sampah" dalam kampanye partai-partai itu; bahwa tidak seluruh-untuk tidak mengatakan sebagian besar-partai-partai itu merupakan penubuhan (embodiment) dari "roh" reformasi yang diperjuangkan dengan korban empat mahasiswa pada tanggal 12 Mei tahun lalu.
Saya diam-diam mulai dituntun oleh kecurigaan bahwa bersamaan dengan "energi reformasi", ternyata ada "energi anti-reformasi" yang juga ikut mendorong lahirnya partai-partai itu. Ini bisa dilihat dari tokoh yang ditampilkan, retorika yang digunakan dan isi agenda politik yang dikemukakan.
Kesan pertama yang saya tangkap dari kampanye di media elektronik selama seminggu pertama ini adalah tampilnya tokoh-tokoh tua yang sama sekali tidak menampilkan suatu kualitas seorang politisi dengan visi yang baik. Tokoh-tokoh tua itu, secara umum. Bisa dikatakan sebagai "stok lama" yang sudah kedaluwarsa. Memang, umur bukanlah patokan yang bisa memilah dengan adil apakah seseorang termasuk "reformis" atau tidak .
Akan tetapi dominannya tokoh-tokoh tua itu sekurang-kurangnya mengindikasikan sesuatu yang kurang beres dalam masyarakat kita: ke mana stok muda dari generasi yang kemudian? Yang amat saya sukai adalah tampilnya jurkam muda dari PRD (Partai Rakyat Demokratik), Nuraini: dengan penampilan seorang aktivis yang jauh dari kesan klimis dan necis, ia mengemukakan agenda politiknya dengan jelas dan tangkas.
Melihat banyaknya orang-orang tua yang tampil dalam partai-partai baru ini, saya jadi curiga: jangan-jangan energi yang menghidupi dan mendorong partai-partai baru ini adalah soal "balas dendam" dan "sakit hati".
Maksud saya: banyak orang tua yang dahulu kalah gambling dan tersingkir dari arena politik pada zaman Orde Baru. Didorong oleh "sakit hati" dan ingin "balas dendam", mereka mencoba masuk ke arena politik kembali: siapa tahu, kali ini mereka bisa memenangkan "nomor buntut". Karena motifnya yang sangat "psikologis" itulah, saya jadi paham kenapa sebagian besar orang tua itu gagap menerangkan "cita-cita politik" mereka, karena memang sesungguhnya tidak ada visi politik yang ada di kepala. Dalam kesempatan ini saya hendak mengambil contoh Partai IPKI yang dalam kesempatan kampanye di TVRI beberapa waktu lalu menampilkan R Suprapto, mantan Gubernur DKI dulu. Penampilan dan gaya bicara Pak Prapto 100 persen sama dengan birokrat Orde Baru.
Sisi lain yang menonjol adalah aspek retorika. Dalam hal ini, saya mau mengambil isu "kepribadian nasional" sebagai contoh. Isu ini kerap muncul dalam kampanye di TVRI. Tampilnya isu ini, baik atas nama nasionalisme atau sukarnoisme, menunjukkan bahwa cara pikir yang "non-reformis" masih mengakar pada tokoh-tokoh tua. Saya menganggap bahwa isu "kepribadian nasional" termasuk isu yang berbahaya untuk agenda demokratisasi. Sebab, atas nama isu itulah Orde Baru dahulu-juga Orde Lama, pernah-mencibirkan demokrasi sebagai agenda politik karena dianggap sebagai produk Barat. Mengkampanyekan agenda demokratisasi sambil pada saat yang sama menekankan "kepribadian bangsa" adalah contradictio in terminis.
Jadi kesimpulan saya: baik di jalan-jalan raya ketika ada konvoi, atau di podium tempat para jurkam menyampaikan kampanye, ada dua motif yang saling bertanding: "motif reformis" dan "motif non-reformis". Saya khawatir, motif yang dominan di balik gemuruh kampanye sekarang ini adalah motif non-reformis.*

Ulil Abshar-Abdalla Cendekiawan

Senin, 27 Agustus 2007

Menolak Dinobatkan Menjadi Sultan

Menolak Dinobatkan Menjadi Sultan


Dia seorang pejuang sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan. Pejuang yang tidak mau berkompromi dengan penjajah kendati kepadanya ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia memilih lebih baik mati daripada tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau mengkhianati bangsa sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat.

Perjuangannya untuk memerdekakan ‘manusia bermata hitam’ dari penindasan penjajahan si mata putih (sibontar mata), tidak terbatas pada orang Tapanuli (Batak) saja, tetapi diartikan secara luas dalam rangka nasional.

Semua orang yang bermata hitam dianggapnya saudara dan harus dibela dari penjajahan si mata putih (sibontar mata). Dia merasa dekat dengan siapa saja yang tidak melakukan penindasan, tanpa membedakan asal-usul. Maka ia pun mengangkat panglimanya yang berasal dari Aceh.

Dengan dasar itulah, sehingga ketika pertempuran melawan penjajah Belanda di Balige tahun 1883, Si Singamangaraja XII berupaya mendekati serdadu Belanda yang antara lain terdiri dari saudara-saudara sebangsa dari Jawa yang jelas juga bermata hitam. Ia mencoba memberitahukan persaudaraan di antara mereka dibandingkan dengan orang Belanda, yang ketika itu diidentikkan dengan sekelompok etnis bermata putih yang suka melakukan penindasan.

Raja Si Singamangaraja XII yang lahir pada tahun 1849 di Bakkara, Tapanuli, sebuah daerah di tepian Danau Toba, ini diangkat menjadi raja pada tahun 1867 menggantikan ayahnya Raja Si Singamangaraja XI yang meninggal dunia akibat penyakit kolera. Sebagaimana leluhurnya, sejak Si Singamangaraja II, gelar Raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara turun temurun.

Sebagaimana dengan Si Singamangaraja I sampai XI, beliau juga merupakan seorang pemimpin yang sangat menentang perbudakan yang memang masih lazim masa itu. Jika beliau pergi ke satu desa (huta), beliau selalu meminta agar penduduk desa tersebut memerdekakan orang yang sedang dipasung karena hutang atau kalah perang, orang-orang yang ditawan yang hendak diperjualbelikan dan diperbudak.

Pada masa pemerintahannya, kegiatan zending pengembangan agama Kristen oleh Nommensen Cs dari Jerman juga sedang berlangsung di Tapanuli. Tidak begitu lama dengan itu, kekuasaan kolonial Belanda pun mulai memasuki daerah Tapanuli. Maka untuk menghadapi segala kemungkinan, ia pun mulai mengadakan persiapan-persiapan dengan mengadakan musyawarah dengan raja-raja serta panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan Pakpak/Dairi.

Perang urat syaraf pun makin meningkat pada kedua belah pihak. Walaupun sudah dicoba, jalan damai sudah tidak dapat lagi ditempuh. Maka pada tanggal 19 Pebruari 1878 serangan mulai dilancarkan pasukan Si Singamangaraja XII yaitu rakyat Tapanuli sendiri terhadap pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung.

Pertempuran yang menewaskan banyak penduduk tersebut akhirnya memaksa pasukan Si Singamangaraja mundur. Tapi walaupun harus mundur dari Bahal Batu, semangat juang perlawanan pasukan itu masih tetap tinggi terutama di desa-desa yang belum tunduk pada Belanda seperti Butar, Lobu Siregar, Tangga Batu, dan Balige selaku basis pasukan Si Singamangaraja XII ketika penyerangan ke Bahal Batu.

Sebaliknya di pihak Belanda, dengan kemenangan di Bahal Batu tersebut, semakin berani mengejar terus pasukan Si Singamangaraja XII sampai ke desa-desa yang tidak tunduk pada kolonial. Dalam pengejaran tersebut, mereka selalu membakar desa dan menawan raja-raja desa. Akibatnya, pertempuran pun berkobar di mana-mana seperti di Sipintu-pintu, Tangga Batu, Balige, Bakkara dan sebagainya.

Bahkan dalam pertempuran kedua di Balige, Si Singamangaraja XII sempat terkena peluru di atas lengan, walau lukanya tidak sampai membahayakan nyawanya namun kuda putihnya si hapas pili mati ketika itu. Ia pun melakukan perang gerilia.

Dengan begitu, Si Singamangaraja XII pun terpaksa berpindah-pindah seperti dari Balige ke Bakkara kemudian ke Huta Paung di Dolok Sanggul, selanjutnya ke Lintong (kampung pamannya (tulang) Ompu Babiat Situmorang) dan kembali lagi ke Bakkara, begitulah terkadang berulang. Dan ketika kedua kalinya Si Singamangaraja XII menyingkir ke Lintong, Belanda pun menyerbu ke sana secara tiba-tiba pada tahun 1989.

Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Si Singamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi, yang kemudian selama 21 tahun tidak mengadakan serangan terbuka pada pasukan Belanda.

Pada kurun waktu itu, beliau tetap mengadakan perlawanan dengan cara melakukan kunjungan ke berbagai daerah seperti ke Aceh dan raja-raja kampung (huta) di Tapanuli dengan maksud agar hubungan di antara mereka tetap terjaga terutama memberi semangat kepada mereka agar tidak mau tunduk pada Belanda. Akibatnya perlawanan oleh raja-raja terhadap Belanda pun kerap terjadi. Pihak Belanda meyakini, bahwa perlawanan yang dilakukan oleh raja-raja kampung itu tidak lepas dari pengaruh Si Singamangaraja XII.

Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan penobatan Si Singamangaraja sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain. Namun Si Singamangaraja menolak tawaran itu.

Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan. Dan setelah melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya ketahuan oleh serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menja Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah.

Dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia, ia seorang pejuang yang tidak mau berkompromi dengan Belanda. Sehingga terjadilah pertempuran sengit yang menewaskan hampir seluruh keluarganya melawan penjajah. Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau Raja Si Singamangaraja XII bersama dua putra dan satu putrinya serta beberapa panglimanya yang berasal dari Aceh gugur pada saat yang sama yaitu tanggal 17 Juni 1907 di Sionom Hudon. Kedua putranya itu yaitu putra sulungnya Patuan Nagari dan Patuan Anggi sedangkan putrinya bernama boru Lopian, srikandi sejati yang masih berumur 17 tahun.

Raja Si Singamangaraja XII tepatnya gugur di hutan daerah Simsim, Sindias di kaki gunung Sitapongan, kurang lebih 9-10 km dari Pearaja, Sionom Hudon, Tapanuli, Sumatera Utara. (Disebut Sionom Hudon, sesuai dengan keenam marga yang menguasai daerah itu yaitu Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan Anakampun). Jenazahnya mula-mula dimakamkan di Tarutung, kemudian dipindahkan ke Sopo Surung Balige.

Keluarga Si Singamangaraja XII yang turut gugur dalam pertempuran melawan kolonial Belanda tersebut bukan hanya dua putra dan putri yang sangat disayanginya tersebut, tapi tidak lama sebelumnya, abangnya yang bernama Ompu Parlopuk juga sudah gugur ketika melancarkan perang Gerilya tersebut. Demikian halnya dengan sang Permaisuri Raja Si Singamangaraja XII, boru Situmorang, juga telah lebih dulu meninggal tidak lama sebelum wafatnya Si Singamangaraja XII akibat keletihan bergerilya di tengah hutan.

Bahkan, Pulo Batu, cucu yang sangat disayanginya, harus meninggal di usia muda sebelum kakeknya. Raja Si Singamangaraja XII alias Ompu Pulo Batu (Ompu Pulo Batu merupakan penamaan yang diambil dari nama cucu laki-laki paling sulung dari putranya paling sulung, dalam hal ini Pulo Batu merupakan anak sulung dari Patuan Nagari), akhirnya harus sama-sama wafat dengan cucu yang sebelumnya sangat diharapkannya menjadi penerus perjuangannya itu.

Perang Batak yang dipimpin Si Singamangaraja XII di Tapanuli, Sumatera Utara yang pecah sejak tahun 1878 itu, akhirnya berakhir sudah. Sejarah mencatat, ketika gugurnya sang pahlawan ini yang menjadi Gubernur Jenderal yaitu pemangku jabatan Kerajaan Belanda yang tertinggi daerah kolonial di Nusantara adalah Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz, sedangkan Gubernur Militer di Aceh yang mencakup Sumatera Utara adalah Jenderal G.O.E.van Daalen.

Dan dibawah pasukan Kapten Christoffel alias ‘Si Macan Aceh’, seorang berkebangsaan Swiss yang sebelumnya hanya merupakan serdadu bayaran, namun kemudian tahun 1906 menjadi warga negara Belanda, akhirnya sang pahlawan, Raja Si Singamangaraja XII gugur tertembak.

Kapten Christoffel yang melaporkan gugurnya Raja Si Singamangaraja XII di Tanah Batak kepada Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz di Bogor ketika itu membawa bukti jarahan berupa Piso Gaja Dompak dan Stempel Kerajaan. Stempel kerajaan dan Piso Gaja Dompak pun secara resmi disampaikan oleh Bataviaaschap Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan di Batavia) pada rapatnya tanggal 7 Agustus 1907 kepada Museum di Gedung Gajah (Jalan Merdeka Barat sekarang-red). Piso Gaja Dompak waktu itu diberi tanda nomor 13425.

Mengenai pusaka yang satu ini, beberapa kalangan anggota keluarga Raja Si Singamangaraja XII mengklaim, bahwa Piso Gajah Dompak yang sebenarnya masih disimpan oleh anggota keluarga. Sementara yang lain mengatakan bahwa salah seorang dari pihak boru (pihak dari anak perempuan) yang menyimpannya. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa Piso Gaja Dompak itu telah menghilang ke langit.

Piso Gaja Dompak itu sendiri adalah satu keris yang panjangnya sekitar 60-70 cm dengan pegangan yang menyerupai patung gajah. Menurut keluarga Si Singamangaraja dan berdasarkan hasil penelitian berbagai sarjana, pusaka ini sudah ada sejak Si Singamangaraja I yaitu sekitar pertengahan abad XVI Masehi. Bersama stempel kerajaan, pusaka tersebut merupakan lambang penting dari pemerintahan Raja Si Singamangaraja I sampai ke XII.

Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Si Singamangaraja XII sendiri. Tapi walaupun Si Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Si Singamangaraja XII sendiri.

Di hati rakyat sudah tumbuh semangat kemerdekaan dari segala bentuk penindasan seperti yang sudah ditanamkan sang pahlawan. Namun perlawanan rakyat itu tidak lagi sebesar perlawanan yang dipimpin Si Singamangaraja XII, sebab Belanda sudah semakin banyak menguasai kampung-kampung. Di samping itu, ketika itu pemimpin perlawanan rakyat itu pun belum ada yang bisa menyamai Si Singamangaraja XII yang bisa menghimpun semua raja-raja di Tapanuli bahkan dari Aceh.

Sejak itu sejarah baru pun tertulis. Daerah Aceh dan Sumatera Utara bagian pedalaman yang sampai tahun 1903 masih belum bisa dikuasai Belanda dan bahkan sebelum wafatnya Si Singamangaraja XII pada tanggal 17 Juni 1907 itu, kekuasaan Hindia Belanda di Nusantara masih minus Sumatera Utara bagian pedalaman, akhirnya berakhir. Sejak itu lengkaplah seluruh wilayah Nusantara menjadi daerah jajahan Belanda sebab Sumatera Utara bagian pedalaman inilah yang merupakan daerah terakhir di Nusantara yang dimasukkan ke dalam kekuasaan pemerintahan penjajahan Belanda.

ETOS RAJA SISINGAMANGARAJA XII

ETOS RAJA SISINGAMANGARAJA XII
DAN ETOS BATAK


Drs.Jansen H. Sinamo

PENDAHULUAN

Kalau kita serius memperingati 100 tahun gugurnya pahlawan nasional Sisingamangaraja XII, maka pertanyaan-pertanyaan di bawah ini perlu kita jawab agar
peringatan istimewa ini memberikan makna sepenuhnya:

1. Bagaimana kita bisa mendapatkan gambaran yang komprehensif, faktual, dan akurat1 tentang Sisingamangaraja XII sehingga sang pahlawan sungguh-sungguh dapat tampil sebagai tokoh sejarah yang darinya orang Batak dan warga negeri ini bisa belajar.

2. Apa persisnya warisan Sisingamangaraja XII bagi orang Batak, dan bagaimana warisan itu bisa diolah menjadi daya vital baru bagi orang Batak sekarang,termasuk bagaimana mewariskannya kepada generasi muda Batak sehingga memberikan kebanggaan sejarah yang sehat.

3. Bagaimana hasisingamangarajaon2 sebagai suatu narasi populer dalam masyarakat Batak memengaruhi praktik habatahon kita dari masa ke masa hingga saat ini? Secara khusus, bagaimana sebaiknya orang Batak menempatkan hasisingamangarajaon dalam pergulatan orang Batak di bidang budaya, politik, dan kemasyarakatan dalam derap maju peradaban dunia sekarang ini?

4. Bagaimana agar istana, regalia, dan benda-benda pusaka Sisingamangarja jangan
sampai lapuk atau hilang ditelan zaman; bagaimana merawat peninggalan fisik itu, termasuk berbagai dokumen, yang tersebar di berbagai tempat: Belanda, Jerman, Bakara, Balige, dan Sionomhudon, agar bisa dimanfaatkan menjadi bahan studi, serta dikelola sebagai situs budaya, pariwisata, dan spiritual yang baik.

5. Bagaimana kita dapat mengekstraksi (mangenet) suatu Etos Batak melalui studi tentang nilai-nilai yang diwarisi dan dihayati Sisingamangaraja XII yang termuat dalam sistem haporseaon dohot partondion, patik dohot uhum, serta tona maupun adat yang ditegakkan dan diwariskannya di sepanjang karir harajaoan dan kepahlawanannya yang krusial bagi pergumulan kita sebagai orang Batak dalam derap maju peradaban dunia sekarang ini. Pertanyaan terakhir ini merupakan topik saya dalam seminar ini. Meskipun masih taraf permulaan, kiranya usaha ini dapat menjadi titik berangkat yang menyemangati kita semua.



Dalam kehidupan dan perjuangan Sisingamangaraja XII sejumlah mitos berkelindan dengan fakta-fakta, namun mitosmitos itu justru lebih menarik. Misalnya, kisah kekebalannya yang hilang karena menyentuh darah. Sebagian orang percaya, sebagian tidak. Namun debat kusir tentang hal ini sering menyita habis energi para pedebat sehingga mereka tidak mampu memetik inspirasi, motivasi, dan kearifan dari kisah itu.

Hasisingamangarajaon saya maksudkan sebagai semua hal-ihwal tentang Sisingamangaraja: hidupnya, kepercayaannya, kerohaniannya, kerajaannya, termasuk patik, uhum, dan adat yang dijunjungnya, serta tona yang ditinggalkannya kepada para pengikutnya di wilayah pengaruhnya.


BETAPA PENTINGNYA ETOS


Karena pada tahun-tahun belakangan ini saya dikenal publik sebagai guru etos maka
keluarga besar Sinambela di Jakarta, melalui Ketua Umum Toga Raja Sinambela, meminta saya untuk membicarakan etos Sisingamangaraja secara khusus dan etos Batak secara umum, atau poin 5 dalam daftar persoalan di atas. Permintaan itu dengan gembira saya penuhi karena dua alasan.

1. saya telah sampai pada kesimpulan bahwa sebuah bangsa tanpa etos (kerja) yang unggul tidak akan mungkin sukses di abad ke-21 ini. Bangsa beretos buruk akan selalu kalah dalam lomba disiplin kerja, produktivitas kerja, kualitas kerja, kreativitas kerja, dan inovasi kerja.

2. Bangsa demikian—meminjam ungkapan Bung Karno—hanya akan menjadi “satu bangsa kuli, dan kuli di antara bangsabangsa” (een natie van koelies, en een koelie onder de naties).

3. Etos yang berarti “the distinguishing character, beliefs or moral nature of a person, group, or institution”,

4. adalah faktor pembeda sifat dan perilaku yang khas antarorang, antarorganisasi, atau antarkaum. Maka etos Batak berarti seperangkat karakter khas orang Batak yang membedakannya dengan kaum lain. Yang kita kehendaki tentu bukan sekadar berbeda, sekadar lain, tetapi keberbedaan yang membuat orang Batak (seyogianya) lebih tangguh dan berhasil dalam hidupnya. Hal terakhir inilah yang jadi inti bahasan saya pada pasal berikutnya. Di tingkat korporat, etos dipahami sebagai “the code of conduct of a business and the way in which it treats its staff, customers, environment and legal responsibilities.”

5. Etos di sini ekivalen dengan budaya perusahaan (corporate cultures), dan studi-studi manajemen mutakhir telah menegaskan bahwa sukses korporat ditentukan oleh faktor-faktor keunggulan perilaku dan budaya kerja.

Di tingkat sosial, studi sosiologi menunjukkan, etos adalah kunci utama kemajuan (ekonomi) suatu kaum. Hal ini pertama kali diperlihatkan secara gemilang oleh Max Weber dalam karya puncaknya, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam buku tersebut Weber menguraikan adanya afinitas bahkan sinergi dinamis antara etos kaum Protestan dan semangat kapitalisme yang sedang tumbuh di Eropa saat itu (abad ke-1 ). Ungkapan aslinya berasal dari Prof. Dr. van Gelderen, pejabat Kantor Pusat Statistik Hindia-Belanda, dalam Statistisch Jaaroverzicht 1928: ... para pemilik modal telah menjadikan rakyat jajahan sebagai bangsa loontrekkers (pencari upah belaka) dan een loontrekker onder de naties (pencari upah di antara bangsa-bangsa).

6. Dalam duapuluh lima tahun terakhir hampir semua buku bisnis dan manajemen yang berstatus mega bestseller dan jadi buku panduan korporat di seluruh dunia boleh dikata berbicara di seputar etos seturut definisi ini. Yang terutama di antaranya:

In Search of Excellence: Lessons from Americas Best Run Companies (Robert H. Waterman and Thomas J Peters, Warner Books; 98 ),
Thriving On Chaos: Handbook for a Management Revolution (Tom Peters, Harper Paperbacks; Reprint edition, 988),
The Seven Habits of Highly Effective People (Stephen R. Covey, Free Press; st edition, 990),
The Balanced Scorecard: Translating Strategy into Action (Robert Kaplan and David Norton, Harvard Business School Press, 99 ),
Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies (James C. Collins and Jerry I. Porras, HarperCollins Publishers; st edition, 997),
Competing in the Third Wave: The Ten Key Management Issues of the Information Age (Jeremy Hope and Tony Hope, Harvard Business School Press, 997),
Good to Great: Why Some Companies Make the Leap and Others Don’t (Jim Collins, Collins, 00 )


7. Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Translated by Talcott Parsons. With a Foreword by R. H. Tawney (New York: Charles Scribner’s Son, 1958). Saya berutang budi kepada Max Weber, karena gagasannya itu memberi saya wawasan dan dorongan untuk menulis buku Delapan Etos Kerja Profesional (Jakarta: Penerbit Mahardika, edisi ke- , 00 )Ignas Kleden, seorang sosiologiwan terkemuka Indonesia, mengomentari tesis Weber sebagai berikut::

Max Weber menunjukkan kepada kita bahwa antara etik Protestan dan etos ekonomi yang dalam istilahnya dinamakan spirit kapitalisme, terdapat suatu hubungan (yang mungkin selalu terbuka untuk dirumuskan bagaimana wujudnya dalam sejarah), yang menjelma menjadi kombinasi yang sangat dinamis yang menggerakkan pertumbuhan kapitalisme modern, yang mendapat bentuknya dalam kapitalisme industrial.

Semua kapitalisme lain sebelum itu (misalnya yang dihasilkan oleh pengerukan kekayaan tanah jajahan melalui kolonialisme), atau kapitalisme merkantilis yang dihasilkan oleh perdagangan, tidak memiliki etos ini, karena semua bentuk kapitalisme itu belum menjadikan pemupukan modal sebagai suatu perbuatan yang dibenarkan oleh agama, dan juga belum menjadikan pemupukan modal tujuan yang harus mendapat pengabdian seutuhnya dari manusia. Ucapan sacra auri fames (kegairahan yang suci akan emas) menunjukkan etos ini, karena kekayaan bukanlah sesuatu yang aib secara moral, tetapi menjadi jalan orang mencapai kesempurnaan moralnya.

Penting diingat, ketika founding fathers Protestantisme itu, terutama Martin Luther dan Johannes Calvin, melancarkan reformasi keagamaan di Eropa pada awal abad ke-1 , tak sedikit pun terbetik dalam pikiran mereka untuk membangun sukses ekonomi (kapitalisme) seperti yang ditemukan Max Weber empat abad kemudian atau yang kita pahami lima abad sesudahnya. Pada waktu itu, mereka cuma ingin berkenan kepada Tuhan secara murni, melepaskan diri dari hawa keagamaan yang sesak dan koruptif. Namun, gerakan reformasi itu menghasilkan unintended consequences yang positif: berkenan kepada pasar, berkenan kepada dunia, bahkan mengubah dunia melalui terbentuknya etos kerja Protestan itu yang pada gilirannya membuahkan sukses ekonomi.

Belakangan ditemui, ternyata bukan hanya Protestantisme yang sanggup jadi sumber bagi etos ekonomi yang berhasil. Kata Ignas dalam makalah yang sama: Dilihat dari masa kita sekarang maka etik Protestan dan spirit kapitalisme itu, yang dalam esai Max Weber dilihat sebagai suatu persambungan, mungkin harus diperlakukan secara terpisah. Ini artinya etik Protestan hanyalah salah satu contoh, yang oleh Max Weber dibuat sangat meyakinkan, tentang hubungan di antara teologi suatu agama di Eropa dan Amerika Utara dengan kelahiran etos ekonomi. Pelajaran yang dapat diambil dari studi itu ialah bagaimana etos ekonomi dapat didorong dalam setiap kebudayaan dengan memanfaatkan sumberdaya dan nilai-nilai budaya yang ada dalam setiap masyarakat dan setiap kebudayaan.10 Munculnya dan berkembangnya kapitalisme di berbagai negara di Asia Timur dan Asia Tenggara menunjukkan bahwa tanpa adanya pengaruh etik Protestan di negara-negara tersebut, dapat muncul suatu spirit kapitalisme yang tidak kalah dinamisnya dari yang pernah ada di Eropa atau Amerika Utara.

8 Ignas Kleden. Kapitalisme, Spiritualitas Keagamaan, dan Etos Ekonomi: Mengenang 100 Tahun The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, makalah yang dibacakannya dalam seminar bertajuk Membangun Etos Bangsa pada 7 Desember di Jakarta.

9 Dalam ungkapannya yang populer etos kerja Protestan itu diungkapkan sebagai berikut:
Bertindak rasional,
Berdisiplin tinggi,
Bekerja keras,
Berorientasi pada sukses material,
Tidak mengumbar kesenangan,
Hemat dan bersahaja,
Menabung dan berinvestasi.

10. Karena melihat kemungkinan seperti inilah saya tertarik mempelajari etos berbagai etnik di Indonesia seperti etos Melayu, etos Jawa, etos Bugis, dan tentu saja etos Batak. Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura menjadi contoh soal yang meyakinkan bahwa tanpa persentuhan langsung dengan etik Protestan selalu ada kemungkinan12 untuk lahirnya spirit kapitalisme sebagaimana dibayangkan oleh Max Weber.

Lalu kata Ignas menutup makalahnya:

Kita di Indonesia harus menjawab tantangan apakah nilai-nilai yang mempengaruhi perilaku ekonomi kita saat ini, dapat diharapkan menghidupkan spirit kapitalisme di masa depan. Atau barangkali keadaannya masih lebih kurang beruntung karena kita sedang berhadapan dengan pilihan yang buruk antara mempersempit kemungkinan bahwa etos itu akan berkembang di masa depan, atau semakin memperbesar kemungkinan bahwa etos itu sedang mati perlahan-lahan.

Tantangan Ignas di atas, delapan tahun sebelumnya telah lebih dulu memasuki benak saya pada 1 7. Saat itu Indonesia sedang dilanda krisis. Saya tiba-tiba sadar: sistem perekonomian kita ternyata tidak punya pondasi yang memadai, semua strategi bisnis dan ekonomi lumpuh sudah, manajemen pun serasa mati, semua ketrampilan sia-sia belaka. Dan dalam pergulatan itu, tiba-tiba saya teringat pada Max Weber, sang penemu etos Protestan itu. Dengan jernih saya melihat: etos bisnis lebih fundamental daripada ketrampilan bisnis. Dikatakan lain: etos itu primer sedangkan ketrampilan itu sekunder. Saya pun mulai mencari-cari rumusan etos kerja yang kiranya cocok bagi bangsa Indonesia.

Pengalaman saya bekerja di Dale Carnegie Institute selama sepuluh tahun segera memberi pengaruh, dalam arti, rumusan etos itu haruslah setangkup dengan prinsip-prinsip manajemen. Lahirlah buku etos kerja versi pertama pada 1 . Sesudah saya perkaya dengan narasi dan ilustrasi yang lebih ”berdaging” maka lahirlah buku etos versi kedua pada 2000. Sebagai orang yang terdidik dalam fisika, saya menghendaki pula agar rumusan etos kerja itu memenuhi syarat komprehensi, syarat koherensi, dan syarat simetri; karena demikianlah dalam fisika, rumusan matematis fenomenafenomena alam selalu memenuhi ketiga sayarat itu. Akhirnya, pada 2005 lahirlah buku etos edisi ke-3 dengan rumusan delapan etos kerja profesional sebagai berikut:

Kerja adalah Rahmat: Aku bekerja ikhlas penuh rasa syukur.
Kerja adalah Amanah: Aku bekerja benar penuh tanggungjawab.
Kerja adalah Panggilan: Aku bekerja tuntas penuh integritas.
Kerja adalah Aktualisasi: Aku bekerja keras penuh semangat.
Kerja adalah Ibadah: Aku bekerja serius penuh kecintaan.
Kerja adalah Seni: Aku bekerja cerdas penuh kreativitas.
Kerja adalah Kehormatan: Aku bekerja tekun penuh keunggulan.
Kerja adalah Pelayanan: Aku bekerja paripurna penuh kerendahanhati.


Sukses ekonomi yang berbasis budaya Jepang merupakan tesis
Robert N. Bellah dalam Tokugawa Religion: The Cultural Roots of Modern Japan (Free Press; nd edition, 98 ).

Sedangkan yang berbasis budaya China dan Korea misalnya masing-masing dibahas oleh Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity (Free Press; First Free Press Paperback Edition, 99 ) h. 8 -9 ; dan Samuel P. Huntington (editor) dalam Culture Matters: How Values Shape Human Progress (Basic Books; New Ed edition, 00 ). Introduction. h. - 8.

Yang juga menarik dikaji justru sebaliknya: mengapa kelompok-kelompok Kristen di Indonesia, terutama yang secara teologis menginduk pada gereja Lutheran (Jerman), di mana berbagai gereja Batak berhimpun di sini, hampir tidak menunjukkan jejak etos Protestan yang tersohor itu?


MENEMUKAN ETOS BATAK

Alasan kedua, seperti saya katakan dalam catatan 10, sejak 1 itu saya mulai serius mencari-cari etos Batak. Saya membaca puluhan buku berbahasa Batak (Toba), baik pustaha, torsa-torsa, turi-turian, atau kumpulan umpasa. Namun saya bingung karena ratusan ungkapan nilai-nilai yang termuat dalam ratusan umpasa dan kisah-kisah yang memuat pengajaran, prinsip, atau pedoman rasanya terlalu banyak, terlalu beragam, campur aduk, bahkan ada yang bertentangan. Akhirnya saya merasa lelah sendiri.

Tetapi rahmat menuntun saya menemukan Etos Batak itu melalui perjumpaan dengan Parakitri T. Simbolon13 pada 2004. Sejak itu kami sering berdiskusi tentang berbagai hal, dan sejak 200 semakin intensif dan mengerucut ke sekitar habatahon dan Sisingamangaraja. Saat itu kami samasekali tidak sadar bahwa 2007 adalah tahun peringatan seabad gugurnya Sisingamangaraja XII.

Apa itu Etos Batak, Parakitri memberikannya secara gamblang. Disebutnya Catur
Sila atau Patik Naopat:

• Porhatian si bola timbang (pemilik neraca yang seimbang).
• Porninggala si bola tali (pemilik bajak yang belah tali).
• Pamuro so marumbalang (pengusir burung di ladang tanpa umban).
• Pormahan so marbotahi (gembala tanpa pecut).

Pendek, cukup sebait; puitis, indah bunyinya, bagus iramanya; dan bertenaga, sarat makna dan bernilai spritual . Sekaligus, inilah contoh ungkapan yang komprehensif, koheren, dan simetris. Maka saya pun tergetar. Menggunakan istilah fisika, keempat rumusan ini bagaikan “sistem koordinat rampatan” (generalized coordinates system) yang berarti: apabila kita berhasil merumuskan koordinat rampatan suatu sistem maka segala sesuatu dalam sistem itu dapat dijelaskan sebagai fungsi dari satu atau lebih sumbu koordinatnya. Jadi, Catur Sila adalah sila rampatan itu. Artinya, ratusan nilai-nilai habatahon yang kita kenal sejauh ini dapat diungkapkan sebagai fungsi dari satu sila atau lebih Catur Sila. Dikatakan berbeda: Patik Naopat on ma na boi gabe sabungan ni saluhut nilai-nilai luhur habatahon.

Berikut keterangan singkat Parakitri tentang makna Catur Sila itu:

Porhatian si bola timbang (pemilik dacing14 yang seimbang) berarti adil seadil-adilnya. Porninggala si bola tali (bajak yang belah tali) berarti, seperti rumusan pujangga besar kita Pramoedya Ananta Toer, ‘lurus sejak dari dalam’. Pamuro so marumbalang (penjaga padi tanpa bandring15) berarti rugi usir burung pemakan padi dengan batu yang dilemparkan pake bandring, karena padi yang runtuh akan jauh lebih banyak daripada yang dimakan oleh burung. Pormahan so marbotahi (gembala tanpa pecut). Siapa yang pernah jadi gembala kerbau seperti saya tahu hebatnya falsafah ini. Anda boleh menghabiskan separuh batang bambu ramping untuk memecut

Nama Parakitri menasional sejak 97 ketika kolomnya yang terkenal: Cucu Wisnusarman, dengan teratur terbit di harian Kompas. Kolom ini sangat digemari karena ciri khasnya yang cerdas, memecahkan kebekuan nalar, menggugat, usil, liar,
dan kocak bukan main. Kumpulan kolom itu telah diterbitkan menjadi buku, terakhir oleh Penerbit Nalar, Jakarta, 00 .

Setelah undur sejenak untuk studi ke Belanda dan meraih gelar Ph.D. dari Vrije Universiteit te Amsterdam, Belanda, 98 - 99 , ia kembali menyentakkan publik dengan karya monumentalnya Menjadi Indonesia (Jakarta: Penerbit Kompas, 99 ) setebal 88 halaman. Catatan kaki buku ini lebih tebal dan sering lebih menarik daripada teks utamanya. Hatian berarti dacin, disebut juga timbangan. Porhatian berarti pemilik atau pengguna dacin Umbalang berarti bandring, disebut juga pengumban atau ali-ali. kerbau Anda, tapi sia-sia. Lain halnya kalau Anda membawa kerbau ke padang rumput yang hijau, lalu setelah kenyang Anda memandikan kerbau dengan menggosok badannya bersih-bersih. Habis itu, Anda tinggal naik punggungnya, dan barisan kerbau akan membawa Anda pulang ke rumah, ke kandang dengan tenang dan damai.

Dari mana Parakitri menemukan rumusan Etos Batak ini? Menurutnya, Patik Naopat ia peroleh dari ayahandanya sendiri, seorang Pande Bolon, jabatan tertinggi Parbaringin di suatu bius. Parbaringin adalah lembaga pelaksana kebijakan-kebijakan Sisingamangaraja di suatu bius, suatu wilayah persekutuan kurban yang bersifat teritorial. Bius tempat kelahiran Parakitri adalah Rianiate, tujuh kilometer ke arah selatan Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir, di tengah Danau Toba.

Sebagai Pande Bolon, logis dan wajarlah ayah Parakitri mewarisi Catur Sila ini dari Sisingamangaraja. Hal itu dibenarkan Parakitri, “Setelah saya mendengar atau membaca berbagai versi Tonggo-tonggo ni Porbaringin tu Sisingamangaraja saya menduga ayah saya menyarikan Catur Sila itu dari sumber tersebut. Bandingkan dengan versi “Tonggo-tonggo” yang dimuat oleh Prof. Dr W.B. Sijabat dalam bukunya1 : “Hupio, hutonggo, hupangalu-alui, sahala ni Rajanta Si Singamangaraja,
Singamangalompoi, Singasohalompoan […] si sulu hata na pintor, si sulu hata na geduk […] gantang pamonaran, hatian tarajuan, parbatuan si sada ihot, parninggala si bola tali, […], sirungrungi na dapot bubu, siharhari na dapot sambil, si palua na tarbeang, sitanggali na tartali […].”

Catur Sila juga juga muncul dalam deskripsi peran, perilaku, dan kualitas pribadi
Sisingamangaraja.17

Sahala Raja Batak, harajaon Singa Mangaraja Sisingahon harajaon, di Batak sibirong mata
Singa mangalompoi, singa na sohalompoan Hatorusan ni Debata, hatorusan ni Sombaon
Tanduk so suharon, mataniari so dompakon Hatana na so jadi laosan, tonana na so jadi juaon.
Pangahitan di sangap, pangahitan di badia Sihorus na gurgur, siambai na longa.
Paradat sijujung ni ninggor, paruhum sitingkos ni ari Sipalua na tarbeang, sitanggali na tartali.
Pangidoan di gabe-gabe, pangidoan di parhorasan Di tubu ni anak namartua dohot boru namarharatan
Napitu hali malim, napitu hali solam Sinolamhon ni Ompunta Mulajadi Nabolon Sirungrungi na dapot bubu, sitanggali na dapot sambil Dirimbas do na geduk, diningggala sibola tali
Parsolup si opat bale, parmasan si sampuludua
Pargantang tarajuan, parhatian na so ra muba
Pariring-iring na so jadi lupa, partomu-tomu na so jadi ambataon Parindahan ragia na so jadi mago, parsangsing di onan na so jadi muba. Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 98 ), h. 7 Pustaha Tumbaga Holing Buku I dan II (Jakarta: Penerbit Dian Utama dan Kerabat, 00 ), h. 7

Mengingat peran dan kedudukan Raja Sisingamangaraja selama duabelas generasi sebagai primus interpares di tengah raja-raja lainnya di tanah Batak, wajarlah memperkirakan Etos Sisingamangaraja telah dikenal dan tersosialisasikan melalui keteladanan pribadinya. Lebih dari itu, Sisingamangaraja sendiri juga memang aktif memberlakukan hukum dan patik habatahon di masyarakatnya. Bagaimana misalnya Sisingamangaraja XII memberlakukan hukum-hukumnya sebagai perwujudan Etos Sisingamangaraja di Dairi telah dicatat oleh Prof. Dr. W.B. Sidjabat..1 Bukan hanya di Dairi, di mana saja pengaruh Sisingamangaraja diterima dan diakui, hal yang sama juga dilakukannya.

***

Dari arah yang berbeda, dalam hal ini menggunakan sejarah sebagai perkakas rekonstruksi, hal yang amat meyakinkan buat saya tentang Etos Batak ini termuat dalam makalah Parakitri berjudul Batak Toba: Tarbahensa Do Ulaning Manotas Dalan Tu Abad XXI?.19 Demikian penting makalah ini menjelaskan munculnya Etos dan Adat Batak itu maka ia saya sertakan sebagai lampiran.20 Intinya sebagai berikut:

1. Etos Batak ialah ”sabungan nilai-nilai luhur orang Batak”yang sehari-hari tampil sebagai adat dan kebiaasan. Namun, di atas adat ada hukum, dan di atas hukum ada kepercayaan yang menjadi falsafah orang Batak. Kepercayaan utama orang Batak ialah ”Ditompa Debata jolma mangarajai uhum; ditompa Debata uhum mangarajai adat.” Sedangkan hukum utama Batak ialah ialah ”angka adat na pinungka dohot sahala ni ompunta sijolo-jolo tubu.”
2. Berangkat dari prinsip ”hori narundut bahenon tu tapean, aek na litok tingkoran tu julu”maka bila kita punya masalah di tingkat pelaksanaan adat (rundut, mejemur, dsb.) dan perilaku yang kurang pas (biasa disingkat sebagai hotel: hosom, teal, elat, late) namun telah membiasa (di jae) maka guna memperbaikinya kita harus meninjau ke tingkat kepercayaan dan kerohanian (tu julu). Untuk itulah ilmu sejarah berguna sebagai perkakas pemeriksaan.
3. Untuk menemukan kepercayaan dan kerohanian (haporseaon dohot partondion) yang melahirkan etos,adat,dan kebiasaan orang Batak yang asli itu harus diperiksa asal-usulnya sampai ke pangkalnya yang paling hulu, yaitu asal-mula orang Batak.
Sebagian bisa diperoleh dari turi-turian (mitos) si Raja Batak. Namun secara ilmiah, kita masih harus bekerja keras menemukannya apakah menggunakan ilmu sejarah, antropologi, arkeologi, atau disiplin lainnya. Sejauh ini, keterangan sejarah yang ada ternyata masih kurang mampu menjelaskan, terutama mengenai
siapa sesungguhnya nenek-moyang orang Batak pertama itu;
di mana mereka bermukim sebelumnya;
bagaimana mereka tiba di sekitar Danau Toba (Sianjur Mulamula) pada sekitar 1500-an;
mengapa mereka meninggalkan tempat asalnya; dan
bagaimana kita harus menafsirkan mitos Pusuk Buhit itu sekarang.

4. Parakitri menampilkan catatan sejarah tentang perjalanan Tomé Pires21yang selama 8 Ibid, h.9 Makalah berbahasa Batak Toba ini ditulis Parakitri untuk Seminar Adat Batak Toba, - Oktober 997, bertempat di Wisma Taman Sari Indah, Jl. Kapten Muslim No.9 Medan. Alasan lain, karena makalah ini ditulis dalam bahasa Batak Toba yang pulen, jarang ditemui, saya yakin ia akan memperkaya kerohanian kita sebagaimana telah saya alami sendiri. Armando Cortesao, ed., trans., The Suma Oriental of Tomé Pires: An Accounts of the East, from the Red Sea to Japan, ini (sejauh yang saya tahu) belum pernah digunakan para ahli untuk menelaah asal-usul orang Batak. Dari analisis dan tafsiran tentang keterangan sejarah itu, Parakitri menyimpulkan karakteristik partondion dan sikap mental orang Batak yang bermukim di sekitar Danau Toba pada sekitar 1500-an itu sebagai berikut:

Angka halak na barani situntun lomo ni roha manjalahi papaga na lomak do ianggo halak Batak i
Angka jolma na ngilngil do nasida.
Ndang si jalo na masa sambing nasida, na malo padomu diri.
Angka jolma si lului dalan na imbaru do nasida jala sitotas nambur, na malo jala na bisuk mangadopi hagogotan.
Ndang olo be nasida mangunsande tu huaso ni sahalak raja bolon.
Dihilala nasida, ingkon adong ma patik namangatur asa tarbahen mangolu songon sada rombongan, sada masyarakat, sada bangso. Ingkon adong do patik na uli na sora mose, songon prinsip moral bersama.
On ma natarida tangkas di tonggo-tonggo ni Parbaringin, ima naginoar songon patik. Didok: Parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali; pamuro so marumbalang,parmahan so marbotahi.Ima partondion na mangolu di bagasan pambahenan ni sude Singamangaraja. Sahala harajaonna ojak nang pe ndang adong parangan, ndang adong naposona, jala ndang dipapungu balasting.
Jadi, ingkon boi ma nian ganup Halak Batak songon hatian na sora teleng, na satimbang. Ingkon boi tigor roha nasida songon ninggala na mamola tali. Ingkon boi dimpos eme sian amporik di juma agia pe ndang marumbalang, jala dimpos dorbia di jampalan agia pe ndang marbotahi. Lapatanna, dimpos ngolu ndang ala ni huaso harajaon (umbalang, botahi), alai ala ni patik (sahala) ambing. Jadi tondi (sahala ima hagogoon ni tondi na tarida) hangoluon ni Batak ima Adil,Tigor, dohot Elek. Sian partondion nasongon ima mullop angka sahala, ima hagogoon dohot huaso laho manjalahi parngoluon na dumenggan di ganup-ganup bidang. Patik on, tondi on, mansai tangkas tarida di Dalihan Na Tolu: Adil (manat) maradophon dongan tubu, tigor (somba) maradophon hula-hula, jala elek (berbelas kasih) maradophon gelleng. Ala ndang adong be sahalak na gabe raja, na sangap, na marsahala, torus manorus, ingkon sude nama ris gabe na sangap dohot na marsahala. Asa boi songon i, pambahenan nama andosan ni sangap dohot sahala i, ndang be nasib, ndang be tohonan (goar, arta, jabatan, pangkat). Asa tarida angka i di hangoluon siapari, tubu ma aturan adat Dalihan Na Tolu, ima na marganti-ganti ganup Halak Batak gabe dongan tubu, hulahula, manang gelleng, asa marganti-ganti jala ris dapotan sahala. Ido alana umbahen tubu umpasa, sisoli-soli do adat, siadapari gogo. Jadi, prinsip Dalihan Na Tolu ima ’marganti’, ndang ’lean ahu asa hulean ho’ (quid pro quo) songon na somal taantusi nuaeng on.

Parakitri menguraikan, lama-kelamaan etos atau ”partondion na jeges jala na mangolu” milik orang Batak awal meluntur dan memudar karena penduduk awal Batak itu hidup ratusan tahun dalam haribaan alam Danau Toba dan sekitarnya yang sentosa. Tiada lagi perbandingan. Tiada lagi tantangan. Bahkan kemudian, oleh Written in Malacca and India in 1512-1515 (London: Hakluyt Society, 9 ) karena dua peristiwa sejarah yang menentukan, yaitu serangan Padri (1 24-1 3 ) dan kekuasaan Belanda menjajah Tanah Batak makin kokoh sejak 1 34, orang Batak sampai mengalami keterguncangan jiwa (pola tarmali tondi). Dalam kondisi tidak menguntungkan demikianlah Sisingamangarja XII tampil di pentas sejarah.

Dari buku Sidjabat kita tahu, Sisingamangaraja XII, figur utama habatahon asli itu, penjaga terakhir warisan spiritual nenek moyang kita, pengemban etos luhur habatahon kita, tampil dengan gagah perkasa dan tidak kenal menyerah, bahkan sampai mati di medan juang, di hutan belantara Dairi.

Sisingamangaraja XII kalah karena persenjataannya ketinggalan; bukan karena tak berprinsip, tapi justru karena keluhuran prinsipnya. Ia gugur karena zaman baru tidak memihaknya lagi; bukan karena tak beretos, tapi justru karena keluhuran etosnya: Parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali; pamuro so marumbalang, parmahan so marbotahi. Dan karena itulah kepahlawanan Sisingamangaraja jadi unik dan cemerlang.

PENUTUP

1. Kata kunci Etos Batak itu (bonar, tigor, manat, elek) tampak sangat bagus dan memadai sebagai basis kehidupan pribadi, organisasi, dan sosial yang kuat dan berhasil. Bandingkan sejenak dengan The Four Noble Truths yang diajarkan Siddharta Gautama: Dukkha, Samudaya, Nirodha, dan Magga. Dukkha: bahwa hidup ini pada dasarnya ialah dukkha (penderitaan). Samudaya: sumber dukkha ialah keinginan menikmati kesenangan-kesenangan sensual (nafsiah). Nirodha: pengakhiran dukkha ialah dengan mengizinkan matinya keinginan itu secara alami dengan tidak melayaninya, tidak menginginkannya, bebas daripadanya, dan tidak bersandar padanya. Magga: cara membebaskan diri dari dukkha itu, disebut delapan jalan mulia, ialah: melihat dengan benar, berniat dengan benar, berbicara dengan benar, bertindak dengan benar, hidup dengan benar, berusaha dengan benar, berpikir dengan benar, dan bersamadi dengan benar.

2. Bandingkan pula dengan nilai-nilai utama Kekristenan: iman, pengharapan, dan kasih. Demikian pula dengan ideal Islam: agar setiap Muslim kiranya bisa jadi insan rahmatan lil alamin, yang berkarakter mulia (akhlakul kharimah) sebagai khalifah Allah di Bumi. Itu berarti kerohanian yang adil, benar, baik, dan penuh rahmat atau cinta kasih.
3. Tampak bahwa Etos Batak itu tidak inferior, bahkan sejalan dengan ajaran moral agama-agama utama dunia.
4. Tantangannya bagi kita sekarang ialah (a) Bagaimana mensosialisasikan etos ini kepada seluas-luasnya masyarakat Batak; (b) Bagaimana mengungkapkannya secara Batak pula di bidang sastra, kesenian, paradaton, serta bidang-bidang profesi lainnya seperti politik, perniagaan, atau pemerintahan.
5. Secara khusus, bagaimana mensinergikan etos Batak ini dengan nilai-nilai Haislamon dan Hakristenon sehingga ke depan Batak Islam dan Batak Kristen semakin mampu menimba vitalitas dari sumur rohani masing-masing dan semakin kompak pula karena minum dari sumur Habatahon yang membesarkan mereka.
.
Dalam rangka inilah—di samping untuk menjawab lima pertanyaan pada awal tulisan ini—gagasan mendirikan Pusat Studi Sisingamangaraja menjadi penting.

Pusat studi ini hendaknya menjadi milik publik, didanai oleh publik, terutama masyarakat Batak, dikelola oleh manajer yang ahli, berintegritas, dan penuh semangat. Buat saya, sukses tidaknya perayaaan seratus tahun pahlawan kita ini, antara lain, ditandai dengan berdirinya pusat studi ini dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Jakarta, 25 Mei 2007

BATAK TOBA

TARBAHENSA DO ULANING MANOTAS DALAN TU ABAD XXI?

Sinurat ni Parakitri Tahi SimbolonTu Seminar Adat Batak Toba 4-5 Oktober 1997
Wisma Taman Sari Indah
Jl. Kapten Muslim No.94 Medan


Patujolo

Inanta soripada dohot amanta raja, tarlobi ma di parhobas ni horja, panitia ni seminaron. Parjolo ma iba marsantabi tu hamuna saluhut, ala binaranihon diri niba dohot jongjong di son laho mangarimangi pangulahonta di adatta, Adat Batak Toba. Ndang ala bahat ni sira ginugut manang bagas ni parbinotoan tinahu umbahen dohot iba manghatai di son. Lan ala pangoros ni panitia dohot mudar na mangkuling ala parungkilon ni halak Batak Toba di tingki na umpudi on, nda tung na tarbahen iba nian dohot mamungka hata di pangarimangion on. Jadi, Inang, Amang, ala dipangido panitia iba gabe pangarimang parjolo, tontu hirim do roha nasida asa tung tangkas nian pinatudu parpeak ni horjanta on di tonga ni parungkilon niadopan ni Batak Toba di pudian ni ari on. Huhut tusi naeng ma nian tangkas muse pinatorang tar tunghan dia ma tondongonta di tingki nanaeng ro on molo naeng dapot hita papaga na lumomak.

Tung so tarbahen iba do antong manggohi panghirimon na songon i balga. Alainang pe songon i, songon nidok ni umpasa do dohonon: pauk-pauk hudali ma ninna, pago-pago tarugi; na tading niulahi, na hurang pinauli. Jadi, tar songon na mangihut on ma partording ni pangarimangion niba. Parjolo sahali pinatudu ma rimpunan ni “sungkun-sungkun”, “parkaro”, “gora”, manang “masalah” na gabe siala di seminarta on, mangihuthon panitia dohot na monang sayembara. Tontu adong do hasintongan di bagasan pandapot ni panitia dohot na monang sayembara i. Alai, tangkas do taboto bahat dohot bidang ni angka parsoalan siadopan ni sude luat dohot bangso nuaeng on, ndang holan halak Batak Toba. Alani i, molo marpungu hita mangarimangi sada-sada parkaro, lehet do antong manat paresoonta dokdok dohot bolak ni parkaro i di tonga-tonga ni parsoalan na pasiar pasebut nangkin. Dung i muse, dao do hape ummura mangalean alus sian mamillit sungkun-sungkun. Molo sala mamillit sungkun-sungkun gabe na tau sala do alus natalean agia pe satolop hita di alus i.ii

Denggan ma muse taingot poda ni Batak Toba taringot hinauli ni pandapot na marsamung. Songon nidok ni umpasa do lapatanni i, ima, purpar pande dorpi mambahen tu dimposna, manang tuat si Putih nangkok Sideak, i naummuli ima tapareak. Alani i, songon na paduahon di pangarimangion niba annon, sinubo do patorang “gora” na umbolon jala na umbagas sian pangulahon ni adat na ingkon adopan ni halak Bata Toba di angka ari na mangihut. Ai didok do di umpasanta, hori narundut bahenon tu tapean, aek na litok tingkoran tu julu. Molo rundut pangulahonta di adatta i, ba sai pinareso tunghan julu. Parpudi sahali, sinubo do muse mangado tartunghan dia ma ulaning tondongonta asa bolas hita mangolu annon di taon-taon naro di Abad XXI.



Gora mengihuthon panitia

Di inganan on tutu, di ombas on, didok panitia naeng rimanganta ninna pangulahonta di adatta, Adat Batak Toba. Mengihuthon nasida, nunga gabe rundut ninna, gariada tahe nunga majemur, pangulahonta di adatta i di pudian ni ari on. Jotjot ma ninna pangulahon ni adatta i paganjanghu, palelenghu, pagunturhu, majabuthu. Jempek hata dohonon, majemur tahe jala jotjotan gabe mula ni gora dohot bada ulaon adat i, jadi ndang be sibaen na horas di angka na marsihaholongan. Ala ni angka i sude, gabe jotjotma ninna tarambat halak hita mangula ulaonna, gabe lam sega angka dalan nasida mandapothon papaga na lomak. Lobi sian angka i saluhut, godangan nama hita ninna na mangulahon adatta i ndang be mangantusi lapatanna. Asal diulahon nama adat i, alai nunga mago anggo tondina. Jadi, mangihuthon panitia, gora manang sungkun-sungkun sabungan di seminarta on ima, beha ma bahenonta ulaning asa tong jeges pangulahonta di adat i, alai huhut tusi lam hombar nian pangulahonta i tu urja-urja ni tingki saonari on. Sungkunsungkun na songon on torang situtu marisi hagiot padimun-dimun adat i, alai di bagasan sangombas i huhut do muse marisi hagiot paimbaruhonsa. Pelestarian dohot pembaruan adat, conservation dohot change, tar ima na niarumas songon boning manalu di bagasan pandohan ni panitia.

Mardomu tu sungkun-sungkun on ba nunga dipatupa panitia sada sayembara. Hasilna nunga dipabotohon tu na torop di ari Minggu 24 Agustus 1997. Sian 193 naskah na masuk tu meja ni panitia, 18 ma ninna naung dipunten songon na dumenggan. Na 18 naskah i boi dohonon manghamham onom parkaro: Parjolo, “Adat Batak Toba dan relevansinya dengan agama”. Paduahon, “Pelaksanaan Adat Batak dalam era globalisasi”. Patoluhon, “Parjambaran di ulaon unjuk”. Paopathon, “Ulos na marhadohoan & ulos holong di ulaon unjuk”. Palimahon, “Paulak une dohot maningkir tangga”. Jala paonomhon ima taringot angka lan na asing alai tong na mardomu tu Adat Batak Toba. Dung jinaha angka nasinurat ni na monang sayembara (lima, ndang onom ditongos panitia), tangkas ma tutu disi diondolhon piga-piga pandapot, songon na mangihut on. Sude na monang mangondolhon, adat ingkon do maruba, jala adat Batak i pe nunga maruba. Holan i tutu, jotjotan do na maruba i maralo tu ugamo (Keristen) manang tu parsaoran ni halak Batak Toba saonari on. Gariada tahe, songon sinurathon ni Amanta St. Oloan Sihombing SH, adat i ndang be dipartondihon godangan halak ii Batak Toba nang pe tongtong diulahon. Asa domu tu ugamo (Kristen), Amanta St. Oloan Sihombing mangondolhon asa tapahe dua tapisan laho mamillit dia adat sipadimunon, dia muse sitinggalhonon. Dua tapisan i ima: “adat na marisi holong” dohot “adat na manghatindanghon huasa ni Debata”. Mangula adat na mansai bolon asa gabe sangap suhut, mansai maol do i ninna gabe adat na marisi holong, songon i muse ma na mangula adat alai gabe manggunturi. Hape sada umpasanta mandok, “sinuan bulu si bahen na las, niula adat si bahen na horas”. Sabalikna, ingkon ma nian tadinghonon mangula adat holan alani na ingkon (kewajiban) songon nidok ni umpasa “si soli-soli do adat, si adapari gogo”, ai ndang adong holong disi. Adat na mandok natoras dohot hulahula niba songon Debata na tarida ingkon ma nian tinggalhonon, ai didok di Markus 7: 13 “Gabe disegai hamu hata ni Debata dibahen adat napinadalan-dalan muna sian ompu muna.” Amanta Bonar Victor Napitupulu mandok, gabe marganjang-ganjang jala majemur adat na taulahon i ala mansai godang pinamasuk ulaon na so tardok adat, songon tardidi, malua, dapot gelar, dohot monang marparkaro. Gabe mago lapatan ni adat i ala sai taulahon hape ndang olo hita karejo karas laho mangantusisa. Aut sura taantusi, manang saotik-otikna angka raja parhata di adat i mangantusi lapatan ni ulaon adat i, tontu dapot ma nasida begeon manghatahon angka umpasa na bagas marlapatan, jala sian i boi ma hita marsiajar di angka poda ni na parjolo, manang mandapot bohal laho patogu tondi. Ulaon adat ndang be songon na somal nuaeng, bising ndang marlapatan. Amanta St. W.K. Tampubolon mangandoshon asa pinillit ma raja parsinabul na malo jala na bisuk molo masa ulaon adat, ai holan halak na songon i nama na tolap mamoto partording dohot parjambaran di adat na maragam-ragam i molo tubu angka parsalisian pandapot. Taringot na pahasathon ulos herbang dohot ulos holong na marnehor-nehor i, Amanta Prof. Drs L.D. Siagian mandok, mangihuthon adat ni ompunta holan opat do ulos namarhadohoan (pansamot, hela, pamarai, sihunti ampang). Molo tung ingkon tamba ma, songon naung tinontuhon ni piga-piga punguan marga, ba unang ma lobi sian 11 lembar.

Taringot na paulak une dohot maningkir tangga, amanta Ir. T.V. Sipayung mangandoshon tibas siboi-boi tu na dua mata ni adat i. Lapatanna boi diulahon boi ndang, saguru tu nadua pihak paranak dohot parboru, manang fakultatif sifatna di hata nuaeng. Mangihuthon Ir. T.V. Sipayung, molo nunga sae parunjuhon, ndang marutang be suhut na dua di adat, ai angka tamba-tamba nama na asing i. Jadi, di hamu ian dohot ama na lolop, aut sura sintong bahasa parkaro nataadopi ima holan taringot pangulahon ni adat na lobi hurang, ra nunga dapot hita angka alus na jeges sian panurat na monang sayembara i. Tontu ndang porlu be nian seminarhononta angka pandapot nasida i, ai mardomu nunga bahat angka pandapot na sarupa dihatahon saleleng on. Holan mangulahon nama nian hita di angka pandapot na jeges i, ndang marseminar be. Mangihuthon hamu ina dohot ama na lolop, aha alana ulaning umbahen ndang tarulahon hita dope angka pandapot na jeges i, hape nunga marulak-ulak tabege jala taseminarhon? Alusna, tontu ala adong dope sungkun-sungkun, parkaro, manang gora na asing, jala na umbalga ra, sian pangulahon ni adatta i. Iv

Gora mangihuthon na monang sayembara

Nang pe ndang dipapuas, tar songon on do huhilala sungkun-sungkun na holip di bagasan ateate ni amanta Bonar Victor Napitupulu, sahalak sian na monang sayembara. Di nasinurat nasida, butir 3a (hlm. 3), tarjaha, “Kurangnya minat masyarakat Batak untuk menggali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap upacara adat Batak itu, [membuat] sering terjadi silang pendapat”, jala na mambahen majemur pangulahon ni adat i. Dohot pandohan na songon i, gora ni halak Batak Toba mengihuthon amanta Bonar Victor Napitupulu nunga gabe asing sian gora na gabe bonsir ni seminarta on. Molo mangihuthon panitia, boha padomu pangulahon ni adat tu hangoluon modern. Molo mangihuthon amanta Bonar Victor Napitupulu, ndang tarpadomu pangulahon ni adat tu hangoluon modern molo ndang bagas taantusi anga lapatan ni adat nataulahon i. Antong molo songon i, beha ma bahenon mamoto tar songon dia “nilai-nilai luhur” on? Tar songon dia ma ulaning partording ni “nilai-nilai luhur” on dohot adat na mameopsa? Boasa mago “nilai-nilai luhur” i sian angka adat na taulahon? On ma tutu sungkun-sungkun natinolopan songon gora bolon naniadopan ni halak Batak Toba na saleleng on. Di toru on sinubo ma mangarimangisa.

Aek na litok tingkoran tu julu

Halak Batak Toba sandiri porsea, adong do uhum di ginjang ni adat, jala adong do haporseaon, partondion, manang falsafah di ginjang ni uhum. Haporsean i jotjot diandoshon, songon nabinahen ni amanta Panggading, Raja Pandua ni Sisoding (Simamora) tu J.C. Vergouwen (The Social Organization and the Customary Laws of the Toba Batak of Northern Sumatra) 65 taon na salpu. Disi didok, “Ditompa Debata jolma mangarajai uhum. Ditompa Debata uhum mangarajai adat”. Mangihuthon i, di atas ni adat adong do uhum, jala di atas ni uhum adong haporseaon ni jolma manang falsafah ni halak Batak Toba. Songon i ma partording ni “nilai-nilai luhur” dohot adat.

Marratus taon tagan so adong dope ilmu kebudayaan, antropologi, ompunta sijolo-jolo tubu nunga mangantusi, molo rundut hori bahenon tu tapean, molo litok aek tingkoran tu julu. Molo rundut adat tontu tingkoran ma tu uhum dohot tu haporseaon, partondion, manang falsafah i. Mangihuthon Vergouwen, na mamareso dohot bagas uhum ni halak hita, ia uhum bolon di Batak Toba ima “angka adat na pinungka dohot sahala ni omputa si jolojolo tubu”. Angka ima tutu “namartagan sopiltihon, maransimun sobolaon; adat na pinungka ni ompunta tongka pauba-ubaon”. Jadi, nangpe ndang tarpareso dope hamumullop dohot parmagodang ni angka adat na pinungka i, tangkas do sahat tu hita na umpudi anggo angka umpasa namameop lapatan ni uhum i. Holan i tutu, mura mandok, alai ndang mura ianggo maningkori uhum di bagasan angka umpasa i. Mansai bahat angka umpasa i, alai bahat muse do angka na so tarpadomu. Nang pe uhum pinungka ni ompunta i tongka ninna paubaon, halak Batak Toba rade do hape manjalo angka parubaan mangihuthon luat. Ai adong do umpasa na mandok, “muba tano, muba duhutna; muba luat, muba uhumna.” Didok muse, “disi tano niinganhon; disi solup pinarsuhathon.” Jadi, halulumbang mamahe uhum mangihuthon angka rumang ni inganan, parpunguan, dohot horja, mambaen gabe maol tutu maningkori adatta i tu julu, tu uhum, lan muse ma tu partondion. Tar songon i muse do rumang ni haporseaon, partondion ni halak Batak Toba, haporseaon manang falsafah na mangarajai uhum nangkiningan i. Damun dohonon alai ala marragam, ndang binoto manontuhon dia ma haporseaon manang falsafah sabungan ni uhum i. Aut sura sinungkun saonari on, dia ma na dihaporseai halak Batak Toba sian nahinan, liat portibi on (the universe) ditompa (Debata) manang ndang ditompa? Alusna torang do tutu, ima ditompa (Debata). Alai molo sinungkun, dung ditompa (Debata) liat portibi on (the universe), tong do pe ingkon targantung tu na manompa i saluhut angka na masa di liat portibi i, manang targantung tu jolma i nama? Ra nunga mulai ndang torang be alusna. Molo naeng paresoon alus na sintong mangihuthon turi-turian ni Batak Toba
taringot panompaan ni liat portibi on, tubu ma muse hinamaol, ala marragamragam do hape turi-turian i sian luat tu luat. Nunga bahat sarjana na mangarimangi parsoalan on, alai nasida pe ndang hea dope sahat tu sabungan ni hata.

Adong dua halak Zendeling Jerman na margoar A.W. Ködding dohot Johanes Warneck. Nasida mandok, Debata ni Batak Toba, Mula Jadi Na Bolon, ima sitompa liat portibi on, alai di banua ginjangan do i maringan (transcendent). Godangan na masa di liat portibi on ndang gabe urusanna be, alai urusan ni jolma (tondi, sahala) nama, dohot urusan ni angka begu (sumangot). Mangihuthon nasida, molo songon i, tontu ndang porlu be bahat angka sakramen di parugamaon ni Batak Toba di nahinan, ima songon mangase taon, pesta bius, dln. Unang lupa hita, haporseaon na songon on tar horis do tu haporseaon ni Kristen Protestan. Dungi ro ma Prof. Dr. Philip O. Lumban Tobing. Songon raja ni Banua Ginjang, ninna, Mulajadi Na Bolon gabe Tuan Bubi Na Bolon, songon raja ni Banua Tonga gabe Sialon Na Bolon, jala songon raja ni Banua Toru gabe Pane Na Bolon. Ibana do sitompa tano dohot langit, alai ndang mandao-dao ibana di Banua Ginjang an. Torus do Ibana sampur tu hangoluonta siapari. Saluhut na masa di portibi on ala ni Ibana do, jala angka uhum dohot adat na niulahon ni jolma pe, gabe ima songon Mulajadi Na Bolon na tarida (immanent). Sada nari pandapot ro sian Waldemar Stöhr dohot Uskup B. Sinaga. Ya, di Banua Ginjang, ya di Portibi on. Ya, manompa portibi on, ya muse torus marpambahenan di portibi on. Debata Mula Jadi Na Bolon ni halak Toba gabe sada hasadaan do, na di banua ginjang dohot na di portibi on (well-balanced whole of God’s transcendence and immanence). Molo songon i do rumang ni parsoalanna, ba gabe tar songon na marragam ma tutu julu ni adatta i. Antong molo marragam do, beha nama bahenon maningkori aek na litok i tu julu? Aha nama na boi adoon ni roha songon na gabe haporseaon sabungan ni halak Batak Toba, falsafah na mangalehon lapatan tu uhum dohot adat na niulahon nasida? Alusna, sahali nari nang pe samar-samar, adong do dilehon Amanta Bonar Victor Napitupulu. Di bona ni sinurat nasida didok, “Apabila kita hendak membicarakan masa yang akan datang yaitu Adat Batak dalam era globalisasi, perlu dipelajari terbelih dahulu bagaimana lahirnya Adat Batak itu dahulu kala”. Vi Boi dohonon, naniusulhon ni Amanta Bonar Victor Napitupulu i, ima mamahe sejarah songon ugari paningkorion tu julu, laho mangantusi aha do ulaning haporseaon
sabungan di halak Toba.


Sude do hita mamoto, sejarah ima saluhut angka na hea masa jala na marpanghorhon (berdampak) tu hangoluon ni sasahalak manang sapunguan.Asa tumangkas, “marpanghorhon” lapatanna angka na paojak manang manguba hasomalan, adat, uhum, dohot haporseaon. Tontu bahat do angka namasa na songon i diahap halak Batak (Toba), alai tapillit ma sada dua na umbalga songon parhohas laho mangalusi sungun-sungkunta na
di ginjang nangkin. Parjolo, ima taringot tu asal-mula ni halak Batak (Toba) mian di Tano Batak (tar hira 1500-an). Na paduahon, ima di na masuk huasa sian luar manontuhon parngoluon di Tano Batak (1822-1945). Patoluhon tar hira 50 taon mardeka (1945-1997). Sian tolu na masa on, arop roha na tau dapot annon antusan rumang ni haporseaon sabungan ni halak Toba i. Molo sintong do tutu bahasa na balga do na masa on di parngoluon ni halak Toba, ba tolu namasa on ma ra na boi goaran songon nidok ni umpasa, molo balga aekna, balga do nang dengkena, molo balga gorana balga do nang panghorhonna.

Asal-mula ni Batak (Toba)

Boi dohonon, nang pe na tolu parkaro on ndang torang dope di godang halak hita, anggona gumolap di sejarah ni Batak (Toba) ima asal-mula ni halak Batak maringan di Tano Batak. Anggo mangihuthon pamaresoon ni angka sarjana, Batak Toba do didok songon bona parserahan ni sude Batak naasing (Angkola-Mandailing, Pardembanan, Pakpak, Simalungun, Karo). Lan na asing na taboto taringot asal-mula ni Batak, songon huta Sianjur Mulamula dohot Si Raja Batak, holan sian turi-turian (mitos) dohot tarombo (silsilah) nama. Turiturian mandok, Si Raja Batak jalo do ditompa Mulajadi Nabolon marhite Si Boru Deak Parujar di Sianjur Mulamula. Dua anakna, Guru Tatea Bulan dohot Raja Isumbaon, ima ompu ni na dua marga bolon di halak Batak, Lontung dohot Sumba. Dung pe sian nasida nadua asa adong tarombo sahat tu hita saonari. Marhite tarombo i diado, tar hira 20 sundut ma (20 x 25 taon = 500 taon) sian ompu na dua i tu hita on. Jadi, aut sura sintong tarombo i, tar hira taon 1500-an ma halak Batak mulai mian di Sianjur Mulamula.

Bahat do anggo pandohan ni angka sarjana taringot asal-mula ni halak Batak, na asing sian pandohan ni turi-turian dohot tarombo. Pandapot na tarsar baritana ima sian Robert von Heine-Geldern (“Prehistoric Research in the Netherlands Indies” na di baritahon di bagasan Science and Scientists in the Netherlands Indies, 1945; hlm. 147ff). Heine-Geldern mandok, dohot piga-piga galumbang parranto, ia halak Batak marmula sian Yunan, Cina Selatan, dohot Vietnam Utara do, tar hira taon 800 SM. Saleleng i sahat tu taon 1500, halak Batak ninna manjalo pengaruh sian kebudayaan Hindu-Budha, molo so jalo sian India, ba sian Jawa marhite Minangkabau. Aut sugari pe sintong pandapot ni angka sarjana on, tar hira so sungkup do gogo ni hatorangan on laho maningkori aek na litok tu julu. Ai so tangkas taboto tar songon dia nasida sahat tu Tano Batak si saonari, jala ala ni aha nasida buhar sian inganan vii nasida na parjolo i. Alai, haru pe songon i, mansai gomos do halak Batak maniop hatorangan na songon on, jala boi dohonon gabe ndang adong be hagiot mangalului hatarongan na imbaru taringot tu asal-mula i. Sasintongna, hatorangan na imbaru na tolap mangurupi hita nunga leleng adong, ima di taon 1944, tingki terbit catatan pardalanan ni Tomé Pires na nisunting ni Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires: An Accounts of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515. Tomé Pires ima sahalak apoteker bangso Portugis na gabe Kepala Gudang Rempah-rempah Portugis di Malaka. Habis i gabe duta besar ma ibana di Cina. Ratusan taon catatan na i holip
di perpustaan Prancis, jala tarjaha Armando Cortesao ma i di taon 1937. Dung pe terbit catatan on taon 1944 asa torang saotik tar beha rumang ni Nusantara, tarmasuk Sumatra di parmulaan ni Abad XVI. Barita ni Tomé Pires mamungka sian Kalimantan (Borneo), Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Banda, Seram, Ambon, Maluku, dohot pulo-pulo Karimun. Didok ibana, Pulo Sumatra (Camotora) bidang jala maduma. Parjolo ma dibaritahon ibana pulo Weh, naginoarna pulo-pulo Gomez (Gamispola). Sian pulo di ujung ni Aceh i, torus ma ibana mangoris-oris Selat Malaka, mangaliati Sumatra uju pastima tu Pansur (Pamchur) jonokhon tu Barus, jala sian i mulak muse tu Gamispola. Asing sian Gamispola dohot pulo-pulo na humaliangna, Tomé Pires mamilangi adong 19 harajaon (reino) dohot 11 negeri manang luat (terra) di pulo Sumatra uju i. Asing sian Gamispola dipajojor ibana ma rumang ni Harajon Aceh (Achei) dohot Biar Lambry, Pedir, Pirada, Pasai (Paçee), Batak (Bata), Aru, Arcat, Rupat, Siak (Ciac), Kampar (Campar), Tongkal (Tuncall), Indragiri (Amdargery), Capocam, Trimtall [Tongkal?], Jambi, Palembang (Palimbao), Negeri Sekampung (Çaçanpom), Negeri Tulang Bawang (Tulimbavam), Negeri Andalas (Andallos), Negeri Pariaman (Pirjaman), Negeri Tiku (Tiquo), Negeri Panchur, Negeri Barus (Baruez), Negeri Singkel (Chinqele), Negeri Meulaboh (Mancopa), Negeri Daya, Negeri Pirim [Pedir?], jala mulak muse tu Gamispola. Didok taringot rumang ni adaran sian Siak tu Jambi, sian Pariaman tu Panchur di topi pastima ni Sumatra, saluhutna i ninna tarmasuk tu Negeri Minangkabau (Menamcabo), na tolu rajana. Raja na tolu i didok maringan dao tar tu tonga ni luat i (pedalaman). Pires mandok bahat mas di Pulo Sumatra, dung i dua massam gota ni hau, na boi dipangan ninna jala margoar camphor, adong muse lada, sutra, haminjon, damar, situak ni loba, miak tano (pitch), balerang, hapas, hotang. Bahat muse do ninna eme, juhut, dengke (peda). Adong muse ninna marmassam miak, tuak (wine), tarmasuk ma i tampoy, na horis tu anggur Eropa. Marragam boras ni hau, songon durian, na tung mansai tabo ninna Pires. [Lapatanna, tung mansai maduma do angka luat i di tingki i].

Bahatan do ninna angka luat i nunga marugamo Islam (Moor), holan otik nama na martahan marugamo “si pele begu” (heathen). Di topi pasir uju purba ni Sumatra, sian Selat Malaka sahat tu Palembang, saluhut raja disi nunga marugamo Islam ninna, alai dung sae Palembang sahat tu Gamispola tong dope “si pele begu” ninna, songon angka raja na dingkan bagasan (pedalaman). Pires mandok jotjot do ibana mambege barita taringot hasomalan mangallang jolma di negeri “si pele begu” i, ima molo tartangkup musu nasida. Aceh didok songon harajaon na parjolo dipareso Pires di sandok Selat Malaka bagian Sumatra. Dungi pe asa luat Lambry. Tar jurjur tu bagasan ima harajaon Biar, vii jadi di holang-holang ni Aceh dohot Pedir. Luhut angka luat naginoaran tongkin on tunduk ma i ninna tu Harajaon Aceh. Raja Aceh nunga maragamo Islam, jala tarbarita songon raja na tangkang manjuara di negeri na humaliang. Bangso Portugis manuhas, sipata raja Aceh olo dope ninna margapgap di laut (bajak laut). Sahali margapgap naung otik ma ninna molo marudur 30-40 “lancar” manang sampan (lanchara). Aceh ninna manggadis bahat juhut, boras, angka bohal sipanganon na asing, tuak tangkasan ni luat i. Adong muse do ninna lada, nang pe ndang sadia bahat. Di tingki i, harajaon Pedir marmusu dope ninna maradophon Aceh. Mansai bernit do ninna parniahapan ni Pedir dibahen Aceh. Ndang sadia leleng mandapothon tingki i, harajaon na bongak dope ninna Pedir, huhut maduma sian partiga-tigaan. Bahat hian dope sian angka harajaon naung dihuasoi Aceh tunduk tu Pedir, tarmasuk muse Aeilabu, Lide, dohot Pirada. Sanga do ninna Pedir marhuaso di pintu ni Selat Malaka, margulut dohot Pasai. Harajaon Pedir torus dope martahan sahat tu taon 1510. Huta sabunganna masuk tar hira satonga liga (league manang tolu km) tu julu ni sunge. Sahat tu tingki na manurat barita i (1513) bahat dope halak sileban sian marmassam bangso mian di huta sabungan i. Nang pe dibagasan parmusuon dohot Aceh, hinabongak dohot hinaduma ni Pedir tong dope disi ninna. Naung otik ma ninna dua hopal sataon ro sian Cambay dohot Benggala tu Pedir, sada hopal sian Benua Quelim (Negeri Keling), jala sada sian Pegu. Disi dung marombus alogo laut, migor borhat muse ma ninna bahat yung dohot parau, pola tar 20 bahatna, marisi boras tu Tranggono, Kedah, dohot Barus. Alai dung talu Malaka dibahen Portugis taon 1511, gabe gale nama partiga-tigaan ni Pedir, tarlobi dung monding sultan nasida, Muzaffar Shah. Adong dua anak tadinganna, alai metmet dope. Ala ni i margulut jabatan dohot harajaon ma angka panguaso ni Pedir. Pedir nunga mamahe hepeng. Hepeng metmet digoari ma ceitis, hepeng balga digoari muse ma drama, sian mas. Sada hepeng Portugis (cruzado) marasam ma sia
drama.

Dung Pedir, ima harajaon Pasai (na targoar songon Çamotora manang Sumatra). Pasai tongon ma tutu pajogi bana tingki i (lagi naik daun), ima jalo dung dihuasoi Portugis Malaka. Uju utara ni Pasai, ima harajaon Pirada, jala tungkan daksina ima harajaon Batak (Bata). Harajaon Pasai torus dope sahat tu topi tao uju pastima, ima Laut Hindia. Saudagar sian desa na ualu, asing ni na sian purba, paturo do tu Pasai, songon saudagar Rume [Bizantium?), Turki, Arab, Parsi, Gujarat, Keling, Benggali, Melayu, Jawa, dohot Siam. Alai molo saudagar sian purba tu Malaka do. Ala saudagar sian purba i angka parbarang na bahat ninna, 10 Pasai ndang tolap dope ninna mangalo Malaka. Bahatan pangisi ni Pasai ninna ima pinompar sampuran ni Benggali/Koling dohot halak Pasai asli. Huta sabungan ni Pasai, ima na margoar Sumatra i, 20.000 halak pangisina ninna, jadi nunga tardok balga. Raja Pasai nunga masuk Islam 60 taon lelengna mandapothon taon 1513. Huaso ni raja nigantihonna, na marugamo si
pele begu dope, suda otik-otik digotili angka saudagar na marugamo Islam. Dung ro Islam, mullop ma adat na imbaru: manang ise na barani boi do mamunu raja, asal ma maragama Islam. Molo marhasil, gabe raja ma ibana. Adat on ninna naro do sian Benggala, tingki i mangolu dope adat na songon i di bona pasogit Benggala. Ix Nah, uju daksina ni Pasai ma harajaon Batak (Bata). Uju daksina ni harajaon Batak ma harajaon Aru. Raja ni Batak i ninna margoar ma Raja Tamiang (Tomyam), ra mangihuthon (manang diihuthon) goar ni sada sunge disi na margoar Tamiang, songon na hea dibaritahon halak Portugis naasing, ima Castanheda. Raja Tamiang gabe hela ni Raja Aru do ninna tingki i. Halak Portugis na sada nari muse, ima Pinto, mamaritahon ia raja ni Batak i ima Raja Timur Raya do goarna. Raja Tamiang manang Timur Raya on nunga marugamo Islam, alai ninna sipata olo dope ibana margapgap di laut (bajak laut). Sada sian hopal na hea digapgap raja on ima Flor de la Mar (Bunga Laut). On ma sada sian opat hopal di bagasan armada na niuluhon ni Gubernur Jenderal Portugis, Alfonso de Albuquerque sian Malaka tu Goa. Tongon tanggal 1 Desember 1511, handas ma armada i uju mandapothon Pasai. Torop do na mate, maluha, jala mago pangisi ni kapal i, jala bahat muse dibuat arta sian i, alai anggo Albuquerque malua do. Negeri Batak mangekspor boras, parbue, tuak, si tuak ni loba, lilin, hapur barus, alai tarlobi ma miak lampu (pitch) dohot “rotan” (rotaã didok pangisi ni luat i). Tontu ndang pola longang iba molo Raja Timur Raya, raja ni Batak i, mamora jala maduma. Na begu muse do raja on ninna, ai barani do ibana marporang mangalo harajaon Pasai, gariada tahe mangalo harajaon ni simatuana, harajaon Aru. Alai, porang na jumotjot ima maralohon angka pangisi ni luat na dinghan bagasan (pedalaman). Tar songon i ma sada hatorangan na mansai arga taringot asal-mula ni halak Batak. Aha lapatan ni hatorangan on tu parsoalanta na di ginjang i?

Situntun lomo ni roha manjalahi papaga na lomak

Molo pinareso peta, harajaon Batak on boi dohonon marhapeahan ma di Langkat-Deli- Siak di topi purba ni Sumatra, tu Alas-Gayo-Simalungun di tonga-tonga, jala boi do ra i torus tu Singkil-Barus di topi pastima ni Sumatra. Molo songon i do tutu, ise ma na mian di humaliang ni Tao Toba? Molo adong otik pe hasintongan di tarombo ni Batak Toba i, ba tar di taon 1500-an ma nasida mulai mian disi, tingki ojak dope harajaon ni Batak naginonggoman ni Raja Tomyam manang Timur Raya. Mangihuthon hatorangan na di ginjang on, gabe tubu ma tutu sungkun-sungun bolon saonari, ise ma na mian donok ni Tao Toba i, jala boasa nasida torus margoar Halak Batak sahat tu sadarion, hape Harajaon Batak nangkin ndang adong be? Nda tung angka nigonggoman ni Raja Tomyam (Timur Raya) nasida, manang angka pangulima na so olo mengihut gabe Islam? Manang naung jumolo do nasida maringan di humaliang ni Tao Toba ipe asa gabe Islam Harajaon Batak, jala alani i las digotap ma parsaoran nasida dohot Harajaon Batak i? Angka tar songon on ma sungkun-sungkun na ingkon jumolo alusan, ipe asa tolap hita mengoris-oris mata ni mual tu julu. Torang ma tutu olohonon na so sungkup dope angka hatorangan ni sejarah laho mangalusi sungkun-sungkun na songon on.

Alai nang pe songon i, dohot hatorangan na adong on, torang ma tutu saonari taantusipiga-piga parkaro. Parjolo, nunga olo ra ndang botul be pangantusionta na saleleng on bahasa Toba ma asal-mula parserahan ni Halak Batak saluhut. Na sumintong ra ima, martektuktektuk
do ra rombongan ni Halak Batak na maporus sian jonokhon ni Tamiang di tingki mangalului inganan na imbaru nasida di humaliang ni Tao Toba, jadi ndang marasal sian Sianjur Mula-mula saluhut ianggo Batak. Ra, rombongan na mamillit donokhon ni Tao Toba gabe digoari ma Halak Toba, songon i ma Simalungun, Pakpak, Karo, Silindung, Pardembanan, Sipirok, Angkola, Mandailing, dln. Tontu sampur jala marsitopotan dope ra nasida molo tarbahen, jala marhite i gabe tarpiaro nasida ma ra angka adat nang marga habatahon nahinan songon nabinoan nasida sian luat asal. Alai, dung lam leleng, ala maol ni pardalanan, gabe ummura nama ra piga-piga rombongan margaul dohot angka halak Batak na gabe Islam di topi-topi ni laut i dohot angka halak sileban. Leleng lam leleng dung songon i, gabe lam asing nama ra
paradaton dohot panghataion nasida. Paduahon, molo sinigat sian turiturian dohot tarombo i, jalo sian Debata do ro ninna ianggo Si Raja Batak marhitehon Si Boru Deak Parujar. Lapatan ni on ima, ndang diakui nasida be asal nasida sian luat ginonggoman ni Raja Timur Raya. Gotap ma tutu partalian nasida, “bogas ni patna na sora degeon, timus ni apina na sora idaon.” Antong molo songon i, angka halak na ngilngil do huroha anggo angka Batak na “imbaru” i, angka na barani manuntun lomo ni rohana. Situntun lomo ni roha ma tutu anggo nasida, sijalahi papaga na lomak. Ndang si jalo na masa sambing ra nasida, na malo padomu diri. Angka jolma si lului dalan na imbaru do ra nasida jala sitotas nambur, na malo jala na bisuk mangadopi hagogotan. Asa lam torang hilalaon tibas na mardua on, tar pinatudos ma jolo satongkin Halak Batak “naimbaru” on tu Halak Australia si Bontar Mata (white Australians). Pinatudos i, ala tar bahat do na sarupa di sejarah ni nasida. Rap angka halak na
bali do nasida (Batak pabali diri, Australia Putih dipabali). Rap mamutus partalian do nasida sian tano asal. Batak mangasahon dolok dohot rura, Australia Putih mangasahon laut, dolok, dohot rura. Halak Australia (putih) tarpaojak ma di 26 Januari 1788. Di ari i, dipatuat ma di topi tao di holbung ni Botany Bay (New South Wales), Australia, 548 baoa dohot 188 borua. Ima Halak Australia parjolo, saluhut nasida na dipabali do sian Inggris/Irlandia songon halak hurungan (convicts). Mansai ambal do antong nasida on sian parranto Eropa parjolo tu Amerika, na bahatan angka na pantun jala parugamo (pilgrims). Manghorhon do tutu sejarah nasida i tu partondion ni Halak Australia sahat tu sadari on. Songon sinurat ni sahalak Australia (Rob Goodfellow, Australia in Ten Easy Steps), tung mansai asing do Halak Australia sian bahatan halak di portibi on.Molo bahatan halak mamestahon ari hamonangan, ari hasangapon, dohot hinajogi ni angka ulubalang, Halak Australia mamestahon ari na sabalikna, ari hataluan. Di ari 26 Januari i, minum tuak tangkasan (grog) ma tutu angka Halak Australia huhut manjou-jouhon goar ni Ned Kelly, sahalak Australia parjolo sian Irlandia, sahalak parmise na satonga senu, marpahean kaleng na hirtaon jala mamodili halak laho
paojakhon Republik Victoria. Di ari 27 April, mabuk-mabuhan do Halak Australia huhut marungkor modom sahat tu tonga ari laho mamestahon hinatalu ni sordadu nasida di parporangan Gallipoli. Jempek hata dohonon, partondion ni Halak Australia, “Aussie Battler”, ima haporseaon nasida bahasa ngilngil mula ulaon ido na ummarga jala na sumangap sian na marhasil mula ulaon. Mencoba jauh lebih berharga daripada berhasil. “Trying” is afforded more support and sympathy than “succeeding”. Halak na “gagal” jala gabe “gale” ala ni na torus marjuang mangalo na gogo, ido jolma na sangap jala na xi marsahala, ndang raja, manang na monang, manang na mora. To struggle establishes a “Battler’s” credentials. To fail heroically proves it. Patoluhon, molo botul do Halak Batak (Toba) na mian di humaliang ni Tao Toba i na jolo, ima angka halak na manadinghon Harajaon Batak nigonggoman ni Raja Tomyam, holan naeng patorushon dohot padimun-dimun “habatahon” nasida, tontu sude i tarida do ra di partondion, uhum, dohot adat hasomalan nasida. Antong tar songon dia ma ulaning partondion nasida i?

Parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali

Songon naung sinunggulan di ginjang, nunga sungkup bahat anggo pangarimangion ni sarjana taringot tu adat, uhum, dohot partondion ni Halak Batak (Toba). Alai nang pe songon i, ndang adong dope sian nasida na mangujihon i tu mula mian ni Halak Batak di humaliang ni Tao Toba. Saonari, dung tabaranihon mangado rumang ni mula mian i, ra ndang maol be padomuonta i tu angka naung taboto taringot adat, uhum, dohot partondion ni Halak Batak (Toba). Molo tinimbang sian goar “Batak” nahinonghop nasida, gabe mura do adoon bahasa nadipiaro nasida do anggo adat, uhum, dohot partondion na pinungka ni ompu nasida tagan so gabe Islam dope harajaon Tomyam. Songon naung nirimangan ni na malo, Dalihan Na Tolu, Tondi-Sahala, dohot Debata Na Tolu, tar i ma ra anggo rimpunan ni adat, uhum, dohot haporseaon manang partondion nasida i. Taado ma satongkin panghilalaan ni halak na manuntun lomo dohot manjalahi papaga na lomak, na maninggalhon hinabeteng ni raja nasida, songon naniahap ni Halak Batak. Tontu ndang olo be nasida mangunsande tu huaso ni raja na tinadinghon ni nasida i. Atik adong sian nasida marhagiot gabe raja, tontu tagamonna do na ingkon aloon ni donganna na maporus i do hagiot i. Tontu ndang olo be nasida marbernit songon tingki ni Raja Tomyam. Alai beha ma nasida boi mangolu rap molo ndang adong na mangarajai? Alusna, molo ndang adong raja, ba ingkon adong ma patik namangatur asa tarbahen mangolu songon sada rombongan, sada masyarakat, sada bangso. Beha ma boi adong patik alai ndang adong sada raja na sangap, na marsahala, na marhuaso? Sungkun-sungkun na borat on dialusi Halak Batak “na imbaru” i ma tutu. Alusna, ingkon adong do patik na uli na sora mose, songon prinsip moral bersama. Tarida do i tangkas di tonggo-tonggo ni Parbaringin, ima naginoar songon patik. Didok: Parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali; pamuro so marumbalang, parmahan so marbotahi. Ia nidok ni tonggo-tonggo huhut na gabe patik on, ingkon boi ma nian ganup halak Batak songon hatian na sora teleng, na satimbang. Ingkon boi tigor roha nasida songon ninggala na mamola tali. Ingkon boi dimpos eme sian amporik di juma agia pe ndang marumbalang, jala dimpos dorbia di jampalan agia pe ndang marbotahi. Lapatanna, dippos ngolu ndang ala ni huaso harajaon (umbalang, botahi), alai ala ni patik (sahala) sambing. Jadi tondi (sahala ima hagogoon ni tondi na tarida) hangoluon ni Batak ima Adil, Tigor, dohot Elek. Sian partondion nasongon ima mullop angka sahala, ima hagogoon dohot huaso laho manjalahi parngoluon na dumenggan di ganup-ganup bidang. Xii Patik on, tondi on, mansai tangkas tarida do di Dalihan Na Tolu. Adil (manat) maradophon dongan tubu, tigor (somba) maradophon hula-hula, jala elek maradophon gelleng. Ala ndang adong be sahalak na gabe raja, na sangap, na marsahala, torus manorus, ingkon sude nama ris gabe na sangap dohot na marsahala. Asa boi songon i, pambahenan nama andosan ni sangap dohot sahala i, ndang be nasib, ndang be tohonan (goar, arta, jabatan, pangkat). Asa tarida angka i di hangoluon siapari, tubu ma aturan adat Dalihan Na Tolu, ima na marganti-ganti ganup Halak Batak gabe dongan tubu, hulahula, manang gelleng, asa marganti-ganti jala ris dapotan sahala. Ido ra alana umbahen tubu umpasa, sisoli-soli do adat, siadapari gogo. Jadi, prinsip Dalihat Na Tolu ima “marganti”, ndang “lean ahu asa hulean ho” (quid pro quo) songon na somal taantusi nuaeng on. Nda tung mansai uli jala bagas situtu do partondion, uhum, dohot adat ni Batak molo songon i? Molo songon na maol ditangkup hita hinauli dohot hinabagas na i, patudos hita ma i satongkin dohot rimpunan partondion ni Jawa, misalna. Didok umpasa ni Jawa, ngluruk tanpa bala, ngalahake tanpa ngasorake (mamorang so marporangan, manaluhon so paleahon). Aut sura dibege Halak Batak na jolo i, ra dohonon nasida ma, “bah, dumenggan do unang mamorangi, agia pe so marporangan; dumenggan do unang manaluhon, agia pe ndang paleahon”. Lebih baik jangan menyerang kendati tanpa bala tentara; lebih baik jangan mengalahkan, kendati tanpa menghina. Sun uli partondion i gabe ndang tarulahon di hangoluon siapari? Ima da tutu,
ninna godangan sian hita nuaeng. Alai sasintongna, ima partondion na mangolu di bagasan pambaenan ni sude Singamangaraja. Sahala harajaonna ojak nang pe ndang adong porangan, ndang adong naposona, jala ndang dipapungu balasting. Tingki loja Singamangaraja XII di harangan ni Dairi dilelei Bolanda, marulahulak didok, “ndang ala utang ni daompung, utang ni damang, manang utanghu sandiri, umbahen hutaon na bernit on, holan ala ni tondi dohot sahala sian Mulajadi Na Bolon i do.” (Jaha buku sinurat ni Amanta Prof. Dr. W.B. Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja, Penerbit Sinar Harapan, 1983).

Ro huaso asing: mali tondi?

Partondion songon na pinatorang di ginjang i, lam maruba ma ra angka i dung lam leleng, tarlobi dung masuk angha huaso ni halak sileban. Sian taon 1500-an tu 1820- an, tagan so masuk dope huaso ni bangso Eropa manjama Halak Batak, boi dohonon ndang bahat na boi taboto taringot parngoluon nasida. Alai nang pe songon i adong do barita sian zendeling Inggris, ima R. Burton dohot N. Ward, taon 1824, na sahat tu Rura Silindung. Barita i disurathon di “Report of a Journey into the Batak Country in the Interior of Sumatra in the year 1824” di bagasan buku, Transactions of the Royal Asiatic Society, I, 1827. Barita nasida I mandok: mansai bahat do pangisi ni rura i, jala niida lehet do parngoluon nasida. Ndang hurang sian 5.000 halak manomu-nomu nasida, sude marpangalaho na lambok jala tota (with kindness and respect). Niarumas tutu sian hatorangan on, boi do denggan jala maduma ngolu ni Halak Batak di humaliang ni Tao Toba i, agia pe ndang adong sada raja na marsangap dohot xii na marhuaso manggonggomi dohot maninga (nearly stateless) nasida. On diolohon angka sarjana na mamareso Batak do, songon na nidok ni Lance Castles di bagasan disertasi nasida, “The Political Life of a Sumatran Residency: Tapanuli, 1915-1940”. Disertasi on disurat taon 1972, na mamareso panghorhon ni panjajahan tu parngoluon ni Halak Batak. Haru pe songon i, ngolu na maduma alai ndang adong sada harajaon na manggonggomi dohot maninga, sanga do huroha manghorhon teal dohot ginjang ni roha tu Halak Batak. Gabe dirimpu ganup Halak Batak ma raja diri nasida. Gabe ndang ditanda nasida be ragam-ragam ni huaso na adong di portibi on. Dirimpu nasida ma langit ni Batak i langit na tumimbo, ai so adong tudos-tudos, ndang songon naniahap ni Halak Aceh, manang Melayu, manang Minangkabau.

Sasude angka partondion na jeges nangkin, sursar ma ra ndang sadia leleng dung haroro ni R. Burton dohot N. Ward. Marmula ma i tingki porangan ni Padri mamuhar Mandailing, tar hira 1824. Raja Gadombang sian Mandaliling Godang mangido tolong tu Bolanda mangalo Padri. Masa ma porang saleleng 1830-an. Ditaluhon Bolanda ma Padri di Padang Bolak (Tuanku Tambuse) taon 1838. Sian tingki i gabe lam hot ma huaso ni Bolanda di Tano Batak (1843). Niarumas, migor songon na mali tondi ma huroha Halak Batak mangadopi angka na masa i. Naung gabe raja par langit natumimbo songon i leleng, gabe si talu-talu nasida. Alai, ndang tarjalo Halak Batak na di daksina i huroha gabe si talu-talu. Antong beha nama akal asa unang si talu-talu? Alusna ima ra na gabe jea bolon parjolo na manoro tondi ni Halak Batak. Didok nasida ma ra, ba pinadomu ma diri da dohot angka na monang. Alani i gabe rap ma nasida dohot pamuhar i mamorangi sisolhot nasida angka Halak Batak na di utara, sahat tu Bakkara, ro di na mamunu Singamangaraja X. Ndang holan i tahe. Bahat sian Batak daksina i lam maila gabe Batak, tarlumobi ma i na sian Mandailing. Didok nasida ma pinompar ni Iskandar Zulkarnaen do nasida, ndang be Si Raja Batak. Adat pe ndang be dipahe, jala on ditolopi Bolanda do. Sahat ro di na mandapothon hamerdekaan, jotjot do tarjadi parbadaan dohot angka Batak na sian Angkola-Sipirok-Padang Bolak maralohon na sian Mandailing, songon parkaro di Sunge Mati di Medan on taon 1922. Halak Mandailing maminsang Halak Batak Angkola-Sipirok-Padang Bolak mananom na mate nasida di Sungai Mati, ala nunga asing ninna Mandailing sian nasida. Ndang Batak be ninna anggo na marasal sian Mandailing. Di Tano Batak utara pe, masuk ma Zending Barmen, Jerman, tar hira 1864, nasininga ni Nommensen. Di Huta Dame, di sada rura (rawa) di Silindung gabe Kristen ma piga-piga Halak Batak, alai bahatan dope ninna bohas ni parhatobanon. Diajari Nommensen ma nasida haiason (higiene), songon mangarobus aek (ai jalo minum aek mual na so pola dirobus do anggo Halak Batak na jolo), manantapi pahean (maradu martusa do pahean ni Halak Batak na jolo ai so hea ditantapi), manumpan kakus (ai bebas merdeka do najolo Halak Batak ianggo misang dohot miting). Ala ni i, sai hipas ma tutu ruas ni Nommensen tagan patumate ganup ari bahat halak di Silindung ala ni muntah-berak hinorhon bumi hangus ni Padri.

Marnida i, longang ma tutu saluhut Halak Batak di Silindung, porsea ma nasida bahasa Debata na Sumurung, Debata na Tutu ma ianggo sinomba ni Nommensen. Gabe marsiadu ma antong raja-raja Silindung gabe Kristen, songon Raja Jakobus xiv Lumban Tobing dohot Raja Pontas Lumban Tobing. Lam porsea ma nasida tutu bahasa sipeop sahala harajaon do angka zendeling i. Songon i balga tutu haporseaon na songon on di godangan Halak Batak Kristen, asa gabe lam dao ma tutu pangantusion nasida sian partondion nasida na parjolo i. Angka on torang do diahuhon sada anak ni Batak (Toba) sandiri, songon Andar Lumban Tobing (Das Ambt in der Batak-Kirche). Didok ibana, sahala ni zendeling i lam mansai bolon dung marborngin Gubernur Sumatra, Arriens, di jabu ni Nommensen, taon 1868 . Lam bahat ma na gabe Kristen, alai huroha sangsi do Nommensen tu pita ni hakristenon nasida i, asa gabe dipinsang ma mangulahon sakramen ni Batak, songon ari onan na opat, mamalu gondang, pesta bius, mangase taon, dohot angka adat na asing tahe. Angka naginoaran parpudion, ima natatanda songon sakramen ni Halak Batak. Marhite angka i do tolhas partondion dohot pangantusion ni sijolo-jolo tubu tu angka pinompar nasida. Dung dipinsang Halak Batak Kristen mangulahon i, songon Halak Batak Islam di daksina, tontu lam gale ma partondion ni ompu nasida molo pinatudos tu togu ni partondion nasida tagan maporus nasida sian Harajaan Batak naginonggoman ni Raja Tomyam tu humaliang ni Tao Toba tar hira 1500-an. Jempek hata dohonon, di daksina nang di utara, Halak Batak gabe gamang marnida angka na baru masa, gariada tahe gabe mago angka haporseaon na pinungka ni parjolo. Ndang malobihu ra molo nidok, Halak Batak i pola mali tondi. Lam mago ma tutu partondion na jeges i, dung lam bahat angka huaso portibi dipatandahon Bolanda tu Halak Batak. Sian taon 1890, dipaojak Bolanda ma afdeeling (kabupaten) na imbaru di Tano Batak utara. Naeng dipaojak muse ma huaso partoru di pamarentaan ni Bolanda, alai na gabe partimbo di huaso na tinanda ni Halak Batak dung maporus nasida sian Raja Tomyam. Ai tingki i, holan si pungka huta do raja na tumimbo ditanda Halak Batak na di humaliang ni Tao Toba. Jadi, ingkon raja huta i ma nian na gabe raja na imbaru di toru ni Bolanda molo mangihuthon partording ni huaso Batak. Alai, songon i bahat raja huta ninna, pola 8.000 godangna, songon na niondolhon ni Lance Castles mangihuthon barita ni Residen Tapanuli, V.E. Korn (1938). Molo songon i bahatna, tontu ndang tarsinga Bolanda be antong saluhutna i. Ima alana, tarpaksa ma Bolanda papungu piga-piga huta gabe sada hundulan, jala angka raja huta di hundulan ima mamillit sada sian nasida gabe Raja Ihutan. Ndang sadia leleng dunghon i, punguan ni huta na margoar hundulan i diuba ma gabe hampung dohot negeri. Huasa disi pe diganti ma gabe hapala hampung manang hapala negeri. Hinorhon ni i, porang ma tutu angka raja huta, ai sasude do hisapan gabe raja. Asa tung moru nian saotik guntur ni angka na gulut di raja Ihutan i, ro ma Bolanda, dibahen ma gabe raja pandua angka raja huta na gumogo marsoara dohot na ngumilngil mangalo. Alai nang pe songon i, tong nama ndang adong be dame di Tano Batak, ala torus do marguluti angka raja huta i sahat tu pinompar nasida. Dohot i lam gale ma partondion ni Dalihan Na Tolu. Mirdong Bolanda manangani parkaro na songon i. Dung i dipaojak ma muse tohonan na ummetmet, songon hapala rodi. Marsiadu muse do Halak Batak mangido gabe hapala rodi. Pangurus ni gareja pe ndang olo hatinggalan. Dipangido nasida ma asa gabe tohonan pamarentaan hasintuaon i. Dioloi Bolanda. Ala ni angka parkaro na songon i, gabe malo ma ninna Halak Batak (Toba) xv manggorahon, ada haberatan, songon mura ni na marhosa nasida. Marpurun-purun ma ninna surat rekkes (rekwest di hata Bolanda), pola ninna songon timbo ni dolokdolok ala ni bahatna. Mangihuthon barita ni Korn taon 1938, songon nanikutip ni Castles, tingki naeng paojak kepala negeri Pohan Hasundutan, masuk ma ninna 450 halaman surat rekes sian dewan adat, dohot piga-piga meter ganjang ni tarombo laho mampartahanhon calon nasida. Di Panggabean-Sitompul, ingkon diurus 71 calon kepala negeri, 57 rekes pangidoan, 10 meter tarombo, dohot 128 halaman catatan, martimbun di kantor gupernemen di Tarutung. Di Toba taon 1917, luat na sun rundut mangihuthon kontrolir Scheffer, saotikna ma ninna 60 rekes sabulan, jala adong dope 745 parkaro na so diputus. Ganup ari Jumat dilean kontrolir do ninna tingkina laho mambege pangaluan, alai holan saotik do na dapat ditangani. Ndang pola longang be iba molo Bolanda mandok, sahit naumporsa di Halak Batak ima sahit gatal parkaro (perkaraziekte), gila sangap manang gila hormat (eigenwaan), jala mauas harajaon (haradjaonzucht). Alai apala na mansai borat, ima bahasa sasudena i ninna ala ni partondion ni Halak Batak namarandoshon sahala, asa tubu ma ninna Sahala Harajaon, Sahala Hasangapon, Sahala Hamoraon. Gabe dosa ma sahala di Halak Batak mangihuthon pangantusion ni Bolanda dohot angka sarjana sian Barat muse. Jadi, lobi-hurang 100 taon panjajahan marhasil ma tutu manegai saluhut angka na denggan di partondion ni Halak Batak. Pola sanga sarjana ni asing, songon Lance Castles palobihu mangarimpu bahasa sude na denggan niula ni Batak ndang situtu i tubu sian tondi na pir, alai sian uas tu sahala hasangapon dohot sahala harajaon do. Ido ninna ibana singkan mabarbar ni sasude namasa di halak Batak rasi rasa sadari on. Gabe ro Vergouwen mandok, agia di angka parkaro na metmet pe, tong do halak Batak margulut ninna, ima asa didok “gulut di imput”. Alai molo tigor iba maningkori partondion i tu julu, tarida ma tutu na so songon i sasintongna tingki di mulana paojak inganan Halak Batak di humaliang ni Tao Toba. Anggo sasintongna, manang ise na barani songon angka ompunta na parjolo, munsat tu humaliang ni Tao Toba, maninggalhon harajaan dohot hasangapon ni bangsona di jae ni Aek Sitamiang an, tontu ingkon do malo jala bisuk (cerdas dan kreatif) nasida pasaehon angka gora nasida.

Manotas dalan tu Abad XXI

Jadi taulahi ma mangandoshon: di mula na, boi dohonon, sintuntun lomo ni roha do anggo angka ompunta parjolo, na manadinghon hajogion ni Harajaon Batak di topi ni Selat Malaka, na mamungka parngoluon di humaliang Tao Toba. Sijalahi papaga na lomak do nasida, ndang ripe si jalo na masa, ndang na malo padomu diri tu na majemur. Angka jolma si lului dalan na imbaru do nasida jala sitotas nambur, na malo jala na bisuk (kreatif) mangadopi hagogotan. Alai, di bagasan pardalanion ni sejarah, mago ma angka tibas ondeng, jala lupa ma pinompar ni Batak i tu partondion ni ompuna, ala sai songon na mali tondi nama nasida nuaeng on. Sai digulut nasida ma angka imput, songon pangulahonon ni adat i, songon angka sahala harajaon, sahala hasangapon, dohot sahala hamoraon (jabatan, pangkat, nama, harta)
Aha ma lapatan ni i? Gabe sala ma hape dapotan jabatan, pangkat, nama, harta? Xvi Ndang sala, alai gabe balik angka na denggan i di partondion ni Halak Batak (Toba) dung masuk huaso ni panjajah. Dung penjajahan i, molo di halak Batak, gabe Islam manang Kristen jotjotan do ndang ala ni na porsea manang na laho mangalului partondion na imbaru, alai laho mangain sahala harajaon, sahala hasangapon, dohot sahala hamoraon do. Molo masuk sikola halak Batak jotjotan do ndang ala ni na mauas parbinotoan, alai ala naeng mangain sahala harajaon, sahala hasangapon, dohot sahala hamoraon do. Gabe pegawai negeri halak Batak jotjotan ndang ala ni naeng paojakhon paningaon na lehet, alai ala naeng mangain sahala harajaon, sahala hasangapon, dohot sahala hamoraon do. Dos ma rumang ni halak Batak nuaeng on songon petenis na mauas situtu tu gelar juara, asa tingki martanding ibana sai tu scoreboard matana. Beha ma boi monang petenis na songon i, agia pe mauas situtu ibana gabe juara? Ingkon gabe sitalu-talu do upa ni jolma na songon i ro di saleleng ni leleng na. Antong molo songon i, beha nama hita, tu dia ma tondongonta, tarlobi angka pinomparta, pinompar ni Halak Batak tu joloan on? Molo tinimbang do partondion songon napinatorang ondeng, sai hira holan sada nama alusna. Ala nunga saep hita gabe sitotas nambur, ingkon nama hita torus gabe sitotas nambur tu joloan on. Adong tolu tibas na ingkon torus padimun-dimunon nihalak si totas nambur asa bolas mangolu jeges. Parjolo, ditopot be gume na. Gume ima talenta. Jadi dikembangkan bakat pribadi gabe kemampuan na tutu. Unang diula sada ulaon hape asing tinembakna, songon gabe kepala hampung holan asa marhuaso, songon marsingkola holan asa mamora, manang songon gabe ulama manang pandita asa sangap. Kasarna, molo na bandit do bakatmu, gabe bandit tangkasan ma ho. Paduahon, unang mabiar manjalo na ro, agia pe hansit, agia pe borat. Unang mabiar, lapatanna ingkon maretong denggan (calculated risk). Ndang adong parkaro na so sondot, alai tutu ingkon karejo karas do hita mangantusi parkaro i, dohot mangalului dalan pasaehonsa. Patoluhon, marbahul-bahul na bolon alias berjiwa terbuka, berbelas kasih. Holan halak na tarbuka do na tolap kreatif, tabiat pokok ni si totas nambur. Marugamo pe tarbuka, margaul pe tarbuka, marpikir pe tarbuka. Beha ma bahenon manuan dohot pabalga angka on di diri ni pinomparta? Parjolo, tapabenget ma mangaranapi saluhut partondion ni angka ompunta. Lapatan ni i, ingkon karejo karas hita mambuka sejarah ni Batak.

Paduahon, unok ni partondionta, ima Patik Naopat: Parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali; pamuro so marumbalang, parmahan so marbotahi. Unok ni uhum dohot adatta ima Dalihan Na Tolu: somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Patik Naopat on dohot Dalihan Na Tolu on do na so boi morot, na so boi muba, molo naeng denggan mangolu ni Halak Batak, ai nunga i gabe dasor ni parngoluonta ratusan taon na salpu. Angka naasing i, holan sibuk dohot bungabunga do i, na tau muba na tau mumpat. Alani i, ringgas, malo, jala bisuk (kreatif) ma hita padomuhon i tu angka na masa nuaeng dohot na naeng ro. Patoluhon, saluhut portibi on nama jampalan na bidang dohot papaga na lomak di hita. Tatadinghon ma bugang dohot baro na hinorhon ni panjajahan. Tajalahi ma saluhut angka na patut di hangoluon nanaeng ro, songon pamingkirion, parbinotoan, habisuhon, dohot ugari (teknologi). Ingkon gabe na jeges do hita di ganup-ganup xvii

Label: